I T N L W I E N A M B E L A S (1)

4.8K 681 64
                                    

          Killian memikirkan lagi bagaimana ia sudah memperlakukan Ervest akhir-akhir ini. He's suddenly being so rude to her. Padahal sebelumnya tidak pernah sama sekali. Killian sadar itu, dia bahkan memang sengaja melakukannya. Bukan karena membenci Ervest, bukan. Killian hanya tiba-tiba merasa sangat tidak nyaman karena perasaan Ervest. Apalagi soal butt implant yang alasannya adalah dia, ditambah perjodohan wanita itu, dan terakhir yang sekarang membuat ego lelakinya benar-benar tidak nyaman, karena wanita itu yang bertingkah seolah tidak ada hal terjadi ketika Killian memberitahunya Killian tau perasaannya. Ervest malah mengejeknya habis-habisan dengan sarkas dan tampang menyebalkannya. Menyebalkan, tapi mengundangnya! Kurang kurang ajar apa itu?

          Pada dasarnya Killian tidak mempermasalahkan sama sekali soal Ervest menyukainya. Ia sudah terbiasa disukai semua wanita di sekitarnya. Ia sudah sangat ahli soal menghiraukan teman wanita yang diam-diam menyukainya dan hubungan pertemanan dengan mereka tetap baik-baik saja. 

          Begitu memang pria. Teman pria mu itu, pacar pria mu itu, bukan orang yang tidak peka. Mereka tau semuanya. Pria adalah makhluk yang pandai menebak dan cepat memahami situasi, tapi pria juga tau mereka harus pura-pura bebal dan tidak peka apalagi soal wanita dan kemauan makhluk-yang-suka-sekali-merumitkan-hal-sederhana-itu. Kenapa pura-pura? Sederhana, kalau pria terus berlaku peka dan menuruti wanita, pria sendiri yang repot. Semakin pria sering memperlihatkan tebakan benar mereka, semakin banyak hal yang dituntut dari mereka. No. Pria makhluk malas, oke? Pahami itu dong, wanita-wanita!

          Killian tau setidaknya Ervest sudah menyukainya sejak bulan pertama mereka saling kenal. Tidak usah bingung Killian tau dari mana. Itu memang hal yang gampang diketaui.

         Wanita pada umumnya tidak bisa menyembunyikan perasaan mereka, bahasa tubuh mereka selalu bicara. Tidak sungkan menyentuh saat bicara, seperti cubitan atau tamparan kecil di lengan. Tidak melewatkan menatap matanya jika pria yang ia suka sedang bicara, karena wanita selalu ingin mencari kesesuaian antara ucapan dengan pikiran dan mungkin perasaan pria yang dia suka lewat matanya. Wanita juga akan selalu menilai ucapan pria yang ia sukai dan dia akan sangat hati-hati memberi feedback. Ervest melakukan semua itu kepada Killian, dengan sangat gamblang, bahkan lebih banyak yang Ervest lakukan dan tanpa dia sadari itu menunjukkan perasaannya yang disembunyikan dari Killian. Killian membiarkan itu. Ia tidak pernah membawa hal itu ke dalam percakapan mereka sama sekali. Mereka berteman, itu cukup. Apa Killian tidak tertarik pada Ervest? Sempat, tapi Killian tidak bisa lebih dari berteman dengan wanita itu. Dia Salim, itu larangan besar. 

          Setelah ciuman mereka di Cé La Vi pun, Killian masih bisa menghiraukan dan bertingkah seperti itu hal yang tidak ada di antara mereka. Dia juga biasa mencium teman wanitanya, tidak ada yang spesial saat itu. Ervest juga bukan tipe wanita yang lugu dalam urusan dengan pria. Dia biasa mencium pria, sepertinya, 

          ...

          pastinya.

          Entah lah, sebenarnya, Ervest tidak pernah (tidak mungkin pernah lah—pertama, buat apa? kedua, Killian juga tidak ingin mendengarnya) mengatakan secara spesifik dia pernah mencium pria atau tidak. Tetapi wanita itu sudah tiga puluh empat tahun menjadi wanita yang sangat menarik dan banyak pria dekat dengannya. Ervest juga lama tinggal di Seminyak, hobi party semalam suntuk, beach club setiap sore, kenalannya adalah bule-bule keranjingan di Seminyak yang datang ke Bali looking for drinks, dance, drugs, and hookups. Tidak mungkin ada wanita lugu yang menjalani hidup seperti Ervest. Tidak mungkin Ervest tidak biasa soal berciuman dengan pria. Jadi saat itu, ciuman itu adalah hal biasa untuk mereka berdua, pikir Killian.

          Tapi sekarang Killian tidak bisa berpikir seperti itu lagi, apalagi menghiraukannya. Perasaan Ervest yang masih ada sampai sekarang dan ciuman itu yang masih bisa ia ingat rasanya sampai saat ini, itu dua hal yang tiba-tiba memuakkan. Membayangkan Ervest memberi arti lain pada ciuman itu membuatnya muak dan sekarang setiap memikirkan Ervest ia hanya semakin muak. Ia risih dengan pemikiran—Ervest masih menyukainya dan bahkan berniat melakukan butt implant karenanya. Itu rendahan. Killian tidak peduli implan pantat itu hak semua orang, dia tetap tidak suka Ervest punya pemikiran untuk memperbesar pantatnya dengan implan.

         Ervest yang sebelumnya mengagumkan tiba-tiba menjadi sangat murahan di mata Killian karena keinginan wanita itu untuk butt implant. Killian tidak bisa lagi menghadapi wanita itu dengan biasa, seperti yang lalu-lalu. Ini bukan lagi Ervest teman yang selalu ia cari untuk makan siang, membeli sepatu atau kemeja, atu jogging di Sports Hub. Ini Ervest yang otaknya sudah diganti otak alien murahan. Mana bisa Killian memperlakukannya sama? Yang ada Killian cuma ingin marah setiap melihat wajah wanita itu, apalagi wajah datarnya siang ini. 

          Padahal sudah terpergok, tapi masih saja bersikap sialan. Killian semakin tidak terima karena itu. Killian membeberkan perasaan wanita itu yang selama ini disembunyikan dari Killian, Killian lempar tepat ke wajahnya, tapi reaksinya benar-benar ... tipikal dia sekali. Reaksi Ervest seolah itu hal yang tidak lagi penting untuknya, seolah dia tidak terpengaruh, padahal sebaliknya, Ervest sebenarnya pasti sangat malu. Dia hanya sok cool.

          Sekarang mengerti kan kenapa Killian sengaja memperlakukan Ervest kasar? Ervest memang pantas dikerjai sampai kapok. Perasaan wanita itu membuat Killian risih dan dia terlalu congkak untuk ukuran wanita yang menyukai Killian. 

          Sadar, Killian mendengkus karena pemikirannya yang sangat sibuk dengan Ervest sementara kakinya dibiarkan melangkah sesukanya. "Gue udah di luar." Langit Jakarta sudah memasuki gelap sempurna. Ia mengecek jam tangannya untuk memastikan, hampir pukul tujuh. "Masuk taksi, nih." Ia kembali bicara sambil membuka pintu taksi yang sudah berhenti di hadapannya di area penjemputan Soetta. Kedua telinganya tersumpal AirPods dan tersambung dengan seseorang. Itu kenapa dia terus berbicara meski tidak ada orang lain di sekitarnya yang sedang bicara dengannya. 

          "Kempinski residence," katanya, kali ini kepada sopir begitu duduk di bangku belakang taksi.

          "Kenapa jadi ke Kempinski, woy?!" Killian mengernyit saat orang yang sedang bicara dengannya itu bertanya dengan suara keras. Namun kemudian ia tertawa. Orang ini adalah temannya yang bekerja di Elephant Star Jakarta seperti Bastian, sekaligus juga anak seorang Jendral bintang empat bernama Regime Alto Talattov yang kebetulan kenal dengan ibu Killian. 

          Killian menyalakan AC mobil dan mengatur hingga maksimal. Jakarta sumpek sekali. Atau dia saja yang terbiasa di Singapore dengan AC kencang di mana-mana. "Mandi, rebahan bentar—"

          "Jangan main lo ya, bisa lima jam lo baru sampai sini!"

          Killian tertawa. Lelaki selalu tau lelaki perkara lelaki. "Susah lah kalau itu." Malam ini Killian ke Jakarta untuk bermain tennis setelah dua bulan penuh ia tidak bermain sama sekali. Namun bukan hanya untuk tennis, dia ke Jakarta juga karena sudah kangen dengan beberapa tempat favorite-nya untuk melepas penat. Salah satunya sebuah unit di Kempinski residence yang sudah hampir tiga bulan tidak ia datangi.

          "Makanya jangan mampir! Lo ke tempat gue langsung!"

          "Main sama lo?" Meski menanggapi dengan candaan, Killian menyetujui usul Oliver itu. "Pak, ke Keraton residence aja, nggak jadi Kempinski," ucapnya kepada sopir taksi yang sempat meliriknya lewat kaca tengah.

          "Sekarang suruh sopir lo yang di rumah Menteng nganterin raket ke sini. Sekarang! Biar entar nggak nunggu lagi." Killian kembali mendengar suara perintah dari Oliver dan ia mendecak. "Lo ngatur amat sih?!" 

          "Lo kalau nggak diatur, jadi apa, Anak Mami?" 

I T N L W I #KILLER01Where stories live. Discover now