I T N L W I D U A P U L U H E M P A T

4.9K 715 67
                                    

   Killian sama sekali tidak puas.

    Meski dua bell boys itu datang tepat waktu. Meski tujuannya mempermalukan Ervest tercapai. Bahkan ia berhasil menyakiti Ervest, dia tidak merasa puas.

   Seharusnya, dua bell boys itu langsung memalingkan wajah begitu melihat keadaan di dalam kamar. Bukan malah ternganga bodoh menatap Ervest yang telanjang. Sial!

   Dan pria itu. Teman wanita itu. Seharusnya pria itu tidak datang dari entah berantah di waktu yang tepat dan melihat Ervest telanjang. Seharusnya ... shit! Mungkin malah sekarang pria itu masih di sana dengan Ervest yang telanjang. Berlagak sebagai teman peduli, tapi sebenarnya hanya menikmati keadaan Ervest. Damn. Apa pria itu teman kamar Ervest?

    Killian kembali mengancingkan kemejanya.  Tiba-tiba ia merasa sangat tidak suka jika itu terjadi. Langkahnya terburu-buru melintasi kamar. Ia mencabut keycard dan membuka pintu. Namun segala niatnya seketika tertunda saat di hadapannya berdiri Pevita yang menatapnya kecewa. Bukan cuma kecewa, wanita itu juga terlihat habis menangis karena kedua matanya sembab.

   "Aku cari kamu di mana-mana," ungkap wanita itu.

   Killian mengepalkan tangan, menahan napas, menahan keinginan untuk segera kembali ke kamar Ervest. "Aku bertemu temanku."

   Teman.

         Bukannya sudah berakhir?

   Killian mengasihani dirinya sendiri saat pikiran 'sudah berakhir melewati' otaknya. Kehilangan teman. Untuk yang kesekian kalinya.

"Selama pestaku berlangsung?" Pevita kembali mengajukan pertanyaan penuh sangsi.

"Selama pestamu berlangsung," beo Killian tenang.

Pevita melipat bibirnya ke dalam dengan keras. Ia melewati pria itu, kekasihnya itu, dan dengan sengaja menyenggol bahunya. Sebuah bentuk protes kekanakan yang membuat Killian malas seketika. "Aku merasa semua yang kamu lakukan ini bukan untukku, Yan."

   Terpaksa Killian membalikkan badan. Pria itu menatap tanpa kepedulian sedikit pun. "Pestamu belum selesai 'kan?"

   "Kamu pikir aku peduli?" Pevita membalikkan pertanyaan. Ia memutar badan, emosi sudah di ubun-ubun, siap meledak. Namun pria yang ada dihadapannya hanya memberi tatapan santai. Rasanya kecut. "Kamu tau apa yang aku bayangin saat kamu bilang kamu mau bikin pesta di Bajo buat ulang tahunku?"

    Killian menjawab tidak dalam kepalanya. Dia memang tidak peduli dengan apa yang Pevita pikirkan saat itu. Bahkan sekarang pun tidak. Ia hanya peduli pada kecongkakan Ervest yang membuatnya tersinggung. Ia hanya peduli wanita sombong itu.

    "Oh. Mana mungkin kamu repot-repot berpikir ke sana. Aku siapa sih di mata Killian ini? Cuma artis yang gampang dikerjai, yang mau-maunya jadi simpanan anak orang kaya nggak berperasaan."

   "Kamu mau apa? Bilang!" sela Killian mulai tak sabar. "Aku nggak punya waktu buat gerutuanmu." Dia ingin Pevita selesai dengan ocehannya sesegera mungkin. Sebenarnya, ia tidak peduli Pevita yang cerewet ini mengomelinya panjang lebar, dia bahkan tidak keberatan, asal jangan sekarang karena sekarang dia hanya ingin memastikan Ervest.

   "Ikut ke atas, temui teman-temanku. Kamu kekasihku kan, Yan?" tuntut Pevita hanya membuatnya semakin muak.

   "Nggak akan terjadi."

   Bahkan pria ini menolak tanpa berpikir sedetik pun. Terlihat ragu sedikitpun tidak. Pevita tak percaya.

   "Aku sudah buat ini jelas sejak awal. Hubungan kita selamanya cuma kita yang tau. Bahkan sampai kamu menikah dengan orang lain, sampai kamu tua, sampai kamu hampir mati pun, hanya kita yang tau hubungan ini—oh, dengan manajer kamu yang kepo itu, hanya dia. Kalau kamu keberatan, awal dulu aku sudah memberimu waktu untuk tidak menerimaku, tapi kamu kekeh menerimaku. Sekarang nggak ada lagi waktu untuk keberatan, apalagi merubah kesepakatan itu—"

I T N L W I #KILLER01Donde viven las historias. Descúbrelo ahora