I T N L W I E M P A T B E L A S (2)

5K 722 26
                                    

          Atau sebenarnya tidak pernah. 

          Hari ini adalah tepat satu bulan mereka saling mengenal. Ervesten dan Killian.

          Ervest baru kembali dari Bali dan Killian yang baru saja menyelesaikan meeting dengan para manager-nya menawarkan untuk menjemput wanita itu di Changi. Sebelumnya mereka memang sudah memiliki rencana untuk menghabiskan Jum'at malam di Ce La Vi. Ini sebuah pemenuhan janji. Di awal perkenalan mereka, Ervest memberi janji pada Killian seandainya pria itu berhasil betah menjadi rekan makan siangnya di Singapore selama satu bulan, maka Ervest akan benar-benar menerima pria itu sebagai temannya dan memberinya perayaan tepat di hari satu bulan mereka saling mengenal. Sebenarnya itu janji lelucon saja yang ia asal ucapkan karena Killian yang sangat memaksanya untuk berteman saat itu. But promise is promise.

          "Ready to party, My Queen?" sambut Killian saat Ervest sudah duduk di sebelahnya. 

          Wanita itu memakai seatbelt dan menoleh dengan wajah mempertanyakan. "With this stuffy Armani? Oh, no, thanks."

          "Benar juga. Lo harus ganti." Killian menatap wanita itu dari atas hingga bawah. "Ganti di tempat gue aja gimana? Masih di kawasan Orchard. Dari pada ke Clementi, harus memutar jauh."

          Ervest setuju dengan ide itu. Sementara ini ia yang baru satu bulan pindah ke Singapore memang tinggal di rumah Tierry di Clementi karena condominium-nya masih dalam tahap renovasi, mengganti beberapa interior bawaan dengan model yang dia ingin. "Okay, ikut kamu deh."

          Killian mengambil rute tol East Coast Park dan keluar tol menuju Rochor Rd.

          "Which building is your apartment in, K?" Ervest bertanya.

          "New Futura, south tower."

          Ervest perlahan mengerutkan kening dengan ekspresi meragukan. Baru saja Killian menyebut New Futura. Itu apartment kelas atas yang harganya tidak masuk akal bagi orang yang bukan dari keluarga konglomerat. Jika Killian benar-benar tinggal di sana berarti .... "Sepertinya gue kurang mengenal lo, ya, K?" Killian tertawa. Baik. Ervest memang sudah meragukan kalau Killian berasal dari keluarga biasa saja sejak satu bulan lalu di hari pertama mereka berkenalan. Pria itu mengendari Audi A7 ... dan jangan lupakan bagian terpentingnya, di Singapore. Ya. Audi di Singapore, itu sudah sinyal yang jelas. Mobil sangat mahal di Singapore, apalagi sekelas Audi, dan memilikinya pun membutuhkan pengeluaran ekstra yang besar.

          Harga mobil di sini dapat mencapai tiga kali lipat besarnya dari harga mobil di Indonesia untuk jenis mobil yang sama dan spesifikasi yang persis. Kenapa bisa begitu? Ini karena pemerintah Singapore memang berkomitmen untuk membatasi jumlah mobil di negara ini. Untuk membeli mobil di Singapore pembeli diharuskan lebih dulu memiliki Certificate of Entitlement (COE) atau sertifikat kepemilikan yang jumlahnya terbatas dan harganya sangat tidak murah, apalagi untuk mobil yang memiliki kapasitas mesin di atas 1.600 cc. Harga sertifikat ini  jauh lebih mahal dari harga mobil tersebut sendiri dan memiliki masa berlaku hanya 10 tahun. Sekarang terbayang kan betapa ekslusifnya memiliki mobil (bahkan mobil biasa) di Singapura?

          Orang Indonesia yang memiliki mobil dengan merk-merk high-end di Singapore sudah pasti memiliki level sosial dan ekonomi yang tinggi. Apalagi ini orang Indonesia yang tinggal di kompleks kondominium kelas atas di Singapore, seperti New Futura, mereka benar-benar dan sudah pasti berada di level lain. 

          "Kalau lo pernah mendengar nama Siswodi dan Tjahaja Jang Anggun Siswodi-Aria, gue berkaitan sama mereka." 

          "You must be kidding." Killian hanya menampilkan senyum jumawa saat Ervest menatapnya semakin penuh keraguan dan memelankan suaranya. "No! Kamu anak Tjahaja Siswodi-Aria?" Lagi-lagi pria itu tersenyum. Baik. Ervest tidak bisa tidak percaya lagi, karena sekarang ini masuk akal.

           "Yap dan anak Albertinus Raden Pradjati Aria. If you ask how I got my last name Aria."

          "Ya ampun, gue pikir Aria yang berbeda." Ervest tertawa, benar-benar tertawa dengan suara yang lepas. "Nggak, gue malah nggak berpikir ke sana sama sekali. Setau gue, anak mereka jadi pejabat semua kayak bapak-ibunya."

          "Except me. Gue nggak suka ngikutin jalan bokap-nyokap." Mobil yang mereka kendarai sudah memasuki parking area yang hanya terisi oleh berbagai jenis super car. "Gue kecil memang sempat diarahkan ke politik, tapi sejak lulus high school gue punya karir impian gue sendiri dan membelot dari nyokap." 

          Ervest kembali membuka mulutnya namun tidak bersuara apapun, hanya memberi ekspresi masih tidak menyangka. "Okay, sebenarnya yang lebih mengejutkan di kepala gue sekarang, selama ini gue dengar keluarga Siswodi itu strict and so so so conventional, terus spesies seperti lo kenapa bisa masih belum punah dari muka bumi?" Ervest meledek menyinggung kehidupan pria itu yang kontras dengan nama Siswodi. Meski baru mengenal Killian satu bulan, Ervest tau benar bagaimana pria ini menjalani hidupnya sebagai pria berusia tiga puluh tahun yang sangat menarik secara fisik dan penampilan, juga memiliki pekerjaan dan posisi yang mapan. Liar. "Itu cuma rumor yang sengaja disebar ke publik, ya? Biar kelihatan kalian amat bermoral, amat tinggi. Tipikal keluarga konglo lah, buat membangun reputasi baik aja."

          "Sepertinya lo lupa rasanya jadi keluarga Salim, ya." Balasan itu terdengar juga sangat mengejek Ervest, tapi memang tepat sekali. "Keluarga kaya nggak akan lepas dari rumor, agree ma'am? Tapi apa mereka peduli? Enggak ... dan iya cuma kalau lagi membutuhkan opini publik untuk mencapai sesuatu, apalagi keluarga kaya sekaligus keluarga politis seperti Siswodi."

          Ervest sangat setuju dengan jawaban Killian itu, tapi tidak untuk satu hal. "I'll correct you, Siswodi, you're not rich, you're crazy rich."

          Mereka menggunakan lift yang langsung menuju ke apartment Killian di lantai 24. Killian tinggal di unit dengan four bedrooms. Ervest sempat menanyakan apa Killian tinggal sendiri di sini. Pria itu menjawab, terkadang tidak, dengan raut yang menyiratkan penjelasan dan Ervest sudah tau maksudnya.

          "Whisky?" tawar Killian. "Come on! Anggap saja sambutan selamat datang." Dia mengambil sebotol Macallan dan dua old fashion glass dari rak yang berada di sisi kiri ruang tamu.

          Ervest tidak menolak sebanyak tiga gelas dan dia berhenti karena mengingat masih akan ada babak selanjutnya. 

          Setengah jam kemudian mereka sudah di Ce La Vi. Benar-benar memutuskan menjadi gila malam ini dengan memesan sebotol Mortlach berusia 18 tahun untuk mereka berdua.

          "Seharusnya kita undang yang lain untuk menghabiskan ini, kan? It's too much." Killian tertawa dan menahan rasa panas juga pedas yang mulai memberontak di tenggorokannya.

          Ervest menggeleng, dia sepertinya sudah benar-benar tidak sadar. Killian tertawa sekali lagi dan hendak kembali menyalakan rokoknya, tetapi Ervest menahan dengan mencekal tangannya. 

         "Sepertinya tuan puteri hampir ambruk," gelaknya terhibur namun sedetik kemudian wajahnya menjadi kaku. Ervest mendekatkan wajah mereka. Dalam keadaan tidak sadar tapi menatapnya penuh. "Hei"  suara Killian sempurna tertelan karena Ervest tiba-tiba memberi ciuman di bibirnya. Wanita itu menciumnya.

          "..."

          Itu seharusnya tidak terjadi. 

          Ia seharusnya menghentikan wanita itu dan mendorongnya. Bukan malah menerima saat wanita itu memperdalam ciumannya dan malah membalasnya.

          Itu semua karena whisky. Benar. Killian sudah salah besar karena memilih whisky malam itu. Dan apalagi malam ini. 

         

B E R S A M B U N G

I T N L W I #KILLER01Where stories live. Discover now