I T N L W I T I G A P U L U H S A T U

3.4K 566 34
                                    

     Pukul dua dini hari Ervest masih terjaga dengan mata segar di dalam kamarnya. Tadinya karena ada bahan presentasi dari tim Asia-Pasifik ES Healthcare yang harus ia teliti untuk meeting besok makanya dia begadang. Namun, sebenarnya sudah sejak setengah jam lalu dia menyelesaikan pekerjaannya, mengangkat pantatnya dari kursi, lalu berpindah ke ranjang, tapi bukannya tidur, dia malah dibawa ingatannya pada malam dimana bahunya berada di dalam pelukan Killian dengan keadaan mereka sama-sama tanpa sehelaipun kain di atas ranjangnya.

   Rasa pahit menyebar di mulutnya secepat darah keluar dari luka pergelangan tangan setiap memikirkan malam itu. Malam ini pun begitu—meskipun ada rasa sangat membahagiakan dan melegakan karena sentuhan pria itu terus membuatnya merasa berharga tanpa bisa ia cegah—dan yang bisa Ervest lakukan hanya berpura-pura tidak merasakan pahit karena ketika mendapat harga itu, dia kehilangan bagian terbaik dalam hidupnya.

   Ervest tidak ingin ada yang melihatnya menyedihkan. Namun, apa mungkin bisa terlihat tidak menyedihkan kalau dia juga terus mengingat malam di Bajo, malam Killian melecehkannya, dan menjadikannya wanita paling hina di mata pria itu pada saat yang bersamaan? Semua terlalu campur aduk. Ervest sampai tidak bisa memisahkan mana rasa yang nyata dan mana yang hanya tipuan yang dibuat dirinya agar tetap menjadi Ervesten yang tidak ingin merasakan apapun karena Killian—apapun.

   Akhirnya, untuk menghentikan pikirannya berkunjung pada malam di Bajo dan malam Killian di kamarnya, Ervest mengambil iPad dan menonton Making a Murderer, film dokumenter yang pagi tadi sempat disinggung Ada di ruangannya. Pikirannya butuh sesuatu untuk dilumat, kecuali ingatan sentuhan Killian.

    Ervest akhirnya menguap kecil saat film dokumenter tersebut hampir habis. Ketika itu tertangkap oleh matanya, ponsel yang ada di dekat kakinya menyala. Ia mengambil benda pipih itu dan melihat pop up pesan masuk dari Arachi. Bersamaan dengan isi kepalanya membaca pesan tersebut, keningnya perlahan mengerut.

    Aku sudah di Changi.

    Ervest menghela napasnya yang agak gondok. Ia menelepon pria sopan tersebut dengan rasa agak kecewa karena mendapati ternyata Arachi tidak benar-benar sesuai ekspetasinya. Ervest kira, Arachi tidak berselera pada hal selain perjanjian mereka, ternyata tidak juga.

    Arachi mengangkat panggilannya pada dering kedua dan pria itu langsung menyapa dengan kegugupan yang sedikit berlebihan, "Hai. Belum tidur?"

   "Belum," balas Ervest malas.

   "Aku sudah di Changi."

    Ervest menatap ke langit-langit kamarnya. "Ya, Arachi. Kalau begitu langsung ke Cairnhill Nine saja."

    "Condo mu?" Pria itu memastikan.

    "Aku jemput di lobby," sahut Ervest cepat. Semakin enggan rasanya setelah mendengar nada bertanya Arachi yang pura-pura. Pria itu ingin menginap 'kan? Ervest tidak keberatan sama sekali, dia akan lebih menghargai kalau Arachi berterus terang saja. Tidak perlu berpura-pura memberitahu, Aku sudah di Changi, agar selanjutnya Ervest menawarkan tempatnya. Pria selalu mudah ditebak.

     "Tapi aku sudah memesan kamar di Ritz Carlton."

      Ervest menegakkan punggungnya ketika menarik napas panjang dan menahan helaan napasnya sesaat. "Jadi aku yang ke hotel?" Tenangkan dirimu, Er, Ritz Carlton hanya berjarak sepuluh menit dengan mobil.

     Di sana Arachi diam sejenak. "Ke hotel? Malam begini? Kamu belum makan malam?"

    "Makan?" Ervest urung menurunkan kakinya ke lantai. Keningnya makin mengerut. Sampai di sini, kenapa pembicaraan mereka sepertinya tidak nyambung? Makan? Arachi sedang bermain polos atau memang apa yang pria itu pikirkan bukan yang Ervest tebak?

I T N L W I #KILLER01Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα