I T N L W I S E B E L A S

5.6K 804 55
                                    

          Iksan Reino Salim dan Nathalia Inggrid Armandito menikah empat puluh tahun yang lalu. Iksan dan Nata saling jatuh cinta saat keduanya bekerja sama dalam sebuah proyek kolaborasi antara dua perusahaan milik keluarga Salim dan Armandito. Hubungan asmara Iksan dan Nata adalah kisah yang istimewa bagi orang-orang di sekitarnya. Meski sempat tidak mendapat restu dari kedua pihak keluarga karena perbedaan agama, pada akhirnya mereka tetap bersatu berkat cinta yang menguatkan kegigihan mereka untuk terus berusaha bersama dan berkat sebuah pengorbanan yang dilakukan Iksan. Ia mengorbankan kepercayaannya pada Tuhannya demi menikahi Nata, wanita yang pada saat itu adalah satu-satunya wanita yang ia cintai.

          Ervest menyukai cerita itu yang ia curi dengar dari pelayan-pelayan rumah Iksan dulu. Cerita tentang sebuah pengorbanan. Cerita dengan tokoh yang rela melakukan pengorbanan besar untuk apa yang mereka yakini akan menjadi takdir mereka. Cerita-cerita seperti itu sangat menghiburnya, dan tokoh-tokoh seperti itu membuat pikirannya ramai. 

          Seperti yang dilakukan Baymax di film Big Hero 6. Ketika ia dan Hiro berusaha menyelamatkan gadis yang sudah terperangkap lama di dalam dimensi lain. Namun situasi tiba-tiba tidak menguntungkan mereka karena Baymax harus kehilangan kemampuan terbangnya setelah serpihan bangunan atau batu besar (?) menabraknya dan di saat yang sama portal antar dimensi hampir tertutup. Baymax mengorbankan dirinya, dia menggunakan roket di tangannya untuk mendorong Hiro dan gadis itu melewati portal sementara dia tetap tinggal dalam dimensi itu … mungkin untuk selamanya.

          Ervest bisa kagum dan terkesan, juga iri dan kadang merasa sinis kepada kisah-kisah seperti itu. Pikirannya akan ramai dengan pertanyaan kenapa orang-orang berani mengorbankan kepercayaan, iman, harta, dan bahkan nyawa untuk hal-hal fathomless like a friendship, love, and fame? Sementara Ervest sendiri, kenapa tidak pernah berani apalagi mau mengorbankan apa yang berharga baginya hanya untuk hal-hal yang, menurutnya, keberadaannya hanya karena hasil romantisasi orang-orang? Itu semua tidak berwujud, jadi apa jaminannya mereka benar-benar ada dan akan selalu ada sampai Ervest harus mengorbankan hal yang paling berharga di dalam hidupnya untuk itu? Ervest tidak juga menemukan jawaban dari dirinya, juga dari orang lain, dari cerita yang ia baca, dan film yang ia tonton. Ia masih belum menemukan jawabannya.

          Bahkan Iksan yang pernah rela mengorbankan imannya untuk Nata atas nama cinta tidak benar-benar memperlakukan wanita itu seperti dia mencintainya setelah mereka bersama. Seolah memang tidak ada yang namanya cinta, Ervest percaya itu. Kalau saja itu memang cinta, sesuatu yang bagi Iksan definisinya sangat suci dan agung hingga mengalahkan imannya. Kalau saja itu memang cinta di antara mereka yang menyatukan mereka dalam pernikahan, maka seharusnya Ervest dan kakaknya, Rojovan, tidak pernah hadir di dunia ini lewat rahim seorang Rose Varbaan. Kekasih gelap Iksan yang sudah bersamanya sejak tahun kedua pernikahanya dengan Nata.

          Jadi apa hal seperti cinta itu benar ada dan pantas untuk sebuah pengorbanan? Tapi kenapa Ervest dan Jovan lahir di antara Iksan dan Rose, sementara lebih dulu Iksan mengorbankan imannya untuk cintanya pada Nathalia? Ini iman, yang ditukar untuk cinta, yang kemudian dia khianati.

          Rumit sekali, Ervest sampai tidak ingin memikirkannya. Belum lagi berhenti di situ, belum ada satu tahun setelah kelahiran Ervest, Iksan kembali mendapat dua bayi lelaki. Tierry Equitio Salim dari Nathalia Salim dan Sebastian Edictio Salim dari seorang Ivana Ariel Kwang. 

          Apa ada cinta dan kasih di dalam keluarga yang nahas begini? Ervest sama sekali tidak bisa melihat cinta dari dongeng ini. Dia hanya melihat keegoisan orang-orang ini dalam merusak sebuah pernikahan dan dengan meromantisasi kata pengorbanan.

          Ervest terbatuk-batuk saat tenggorokannya terisi asap rokoknya sendiri. Panas menyengat langsung merambat ke seluruh kepalanya. Sementara seluruh badannya tetap merasa dingin karena perpaduan bikini renang dengan semilir angin malam—atau lebih tepatnya angin dini hari—di belakang rumah Bastian.

          Ia masih berdiri di tepian kolam. Baru saja ia berenang lima belas kali memutari kolam. Rasanya sekarang paru-parunya mengkerut kehabisan udara. Sehingga ia perlu mengisi ulang dengan angin malam dan sedikit asap rokok untuk menghangatkan.

          "Bas," panggil Ervest. 

          Tidak ada yang menyahut. Namun Ervest tau Bastian masih di belakangnya, duduk bersandar di lounge chair, menatapnya yang berdiri di pinggir kolam, kedinginan, dan menghisap rokok.

          "Kenapa gue harus menikah menurut lo?" 

          "..."

          “Kenapa gue harus mau menikah?”

          Terkadang Ervest gemas sekali degan adiknya yang satu ini. Pria ini cerewetnya minta ampun, tapi kalau giliran ditanya malah seperti orang bisu. 

          Ervest terpaksa memutar badannya demi melihat wajah menyebalkan adiknya dan bicara, "Gue nggak punya alasan untuk menikah. Sementara lo dan Tierry sekarang memaksa gue harus menikah,  jadi gue yakin lo pasti punya alasan kenapa gue harus menikah. Karena kalau enggak, gue tenggelamkan lo sekarang juga." 

          "Someone must really take care of you. Not because you can't take care of yourself, tapi punya orang lain yang mau peduli sama kamu apapun keadaannya itu kebutuhan. Orang nggak akan bisa hidup sendiri selamanya, mau berusaha seegois apapun kita. Akan ada waktunya kita benar-benar butuh orang lain dan akan ada waktunya orang lain di sekitar kita—teman, sahabat, anak buah—bodoamat sama urusan kamu karena mereka juga punya urusan sendiri, kecuali suami kamu."

          "That's why … gue kerja bagai kuda. Biar gue bisa bayar orang saat gue butuh dan orang di sekitar gue udah nggak peduli lagi," kelit Ervest hanya untuk mendebat adiknya. "Ikatan pernikahan nggak menjamin loyalitas, but money does. We live in reality, Bas, not Disneyland." Ervest sangat heran, apa Bastian tidak pernah belajar dari orang-orang tua itu?

          "Lo bakal capek sendiri sama pemikiran egosentris dan money-oriented lo itu, trust me."

          Ervest tertawa dan kembali memutar tubuh. Adiknya benar-benar naif. Ia menghisap rokoknya. Udara bersama asap ia hembuskan lewat mulut, sebelum kemudian ia agak mendongak untuk menghirup lagi asapnya dan membuangnya lagi. Kenapa pikiran-pikiran di dalam kepalanya begitu menggelitik malam ini? 

          "Gue nggak terbiasa ada yang peduli gue, Bas. Sebelum dua tahun yang lalu, gue udah punya hidup yang mapan dan stabil di Bali. Sebelum lo dan Tierry tiba-tiba datang dan memaksa gue kembali ke keluarga ini lagi." Ia tidak suka. "I'll be honest, I hate your idea and even your reasons. Kalian tiba-tiba memaksa gue menikah dan seolah-olah dengan alasan karena lo sangat peduli gue yang udah belasan tahun nggak mengenal kalian, it's weird, isn't it? It's too naive tho."

          Keluarganya tidak baik-baik saja seperti ini. Di antara orang-orang di dalam keluarganya, mustahil mereka memiliki rasa peduli seperti yang sedang Bastian coba perlihatkan padanya sekarang. 

          "Kita emang keluarga," Ervest menatap Bastian serius, "tapi kita bukan keluarga yang saling peduli. Biarkan terus begitu."
 

I T N L W I #KILLER01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang