I T N L W I E N A M B E L A S (2)

5.3K 721 96
                                    

           Satu setengah jam kemudian Killian dan Oliver sudah berada di Istora, memakai kaos putih dan celana hitam pendek dari Nike yang seragam. Mereka kini melakukan pemanasan kecil di luar gelanggang tennis atas arahan seorang coach bersama beberapa pemain tennis lain, yang rata-rata juga orang ES Jakarta, sambil mengobrol seru. 

          Killian sebenarnya belum lama ikut dalam group tennis ini, mungkin baru tiga bulan terakhir. Sebelumnya ia malah tidak bermain tennis sama sejali. Ini gara-gara Bastian dan anak-anak Elephant Star Jakarta yang suka sekali pamer kalau mereka sedang tennis bersama.

          Padahal kalau di pikir-pikir mereka tidak akrab-akrab amat di kantor, tapi di lapangan tennis mereka bisa seru-seruan seperti geng anak SMA yang sudah solid sekali. Awalnya, Killian tidak tertarik sama sekali. Mereka bilang tennis itu ajang untuk melepas penat karena sudah bekerja keras selama satu minggu, sementara cara melepas penat versi Killian berbeda dengan mereka. Killian cuma butuh sex untuk melepas penat. Mengurung diri di kamar semalaman dengan satu wanita cantik yang memiliki pantat menggemaskan. Penat lepas, juga berkeringat. Dulunya. Karena pada akhirnya, tiga bulan yang lalu Killian membeli dua Wilson Excalibur dan bergabung juga dengan orang-orang ES Jakarta yang rutin tennis di Istora.

          Bukan berarti dia ingin meninggalkan sex sebagai caranya melepas penat dan keringat. Sex tetap nomor satu. Tennis haya selingan.

           "Hei, bro!" Ini Asean yang baru menghampiri Killian dan Oliver yang sedang minum di pinggir lapangan. Kalau kalian ingat, Killian pernah menyebut nama lelaki ini dulu. Waktu itu Killian merekomendasikan pria ini kepada Ervest untuk dicoba, ingat? "Tumben Kamis lo di Jakarta?" Killian merasa tidak terlalu akrab dengan pria ini, tapi Asean memang dikenal sangat supel. Asean meletakkan tennis bag ke lantai.

         Killian tidak langsung memproses pertanyaan Asean itu ke dalam kepalanya. Ia malah memikirkan ... apa Ervest mengikuti sarannya dulu? Ervest sendiri bilang waktu itu dia bukan tipe Asean, tapi apa Ervest benar-benar tidak mencoba? Kalau dia mencoba bagaimana? 

           "Perlu sama adek-adeknya, kayak nggak tau aja." Oliver menjawab pertanyaan itu dengan sarkas dan menyita perhatian Asean, untungnya. Jadi, tidak ada yang sadar kalau baru saja itu Killian malah mengabaikan Asean yang bertanya dengan sangat akrab. 

           "Ouh. Yang disewain apartment 3 BR di Kempinski itu?"

           Dibicarakan tepat di depan matanya, Killian hanya mendecak tak begitu keberatan. Tidak bisa mengelak, yang dikatakan Oliver dan Asean memang benar. Gosip itu beredar di mana-mana, di antara pria-pria yang memiliki posisi tinggi di Elephant Star dan juga lingkaran kenalan mereka, tapi memang itu gosip yang benar. 

           "Pokoknya adek-adek Binus sama UPH yang manggil dia daddy lah."

           Asean tertawa. "Lo parkir di Kempinski apa Dharmawangsa sih?" Kembali ia bertanya kepada Killian yang kini sudah sepenuhnya menyimak. Sebenarnya meski tidak berteman akrab dengan Asean, Killian biasanya fine-fine saja menanggapi Asean, tapi kali ini dia sedang ingin sinis sampai mau menjawab pun malas. “Gue memastikan buat referensi aja. Siapa tau nanti gue tertarik mengikuti jejak lo,” canda Asean yang tidak lucu sama sekali bagi Killian. 

           "Satu di Kempinski, satu di Dharmawangsa sekarang." Lagi-lagi Oliver yang menjawab dengan antusias seolah malam ini dia dibayar untuk menjadi juru bicara Killian. Well, Killian cukup bersyukur dari pada dia harus banyak membuka mulut meladeni Asean. "Gara-gara insiden pelotot-pelototan di lobby GI yang sampai setengah jam, tau nggak lo? Yang Mulia nggak mau ambil resiko lah, yang satu langsung dipindahin ke Dharmawangsa." Killian mengerutkan kening begitu mendengar penuturan Oliver yang lengkap.

I T N L W I #KILLER01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang