I T N L W I T I G A P U L U H L I M A

2K 361 45
                                    

Kulit Arachi terasa sangat hangat di kulit Ervest. Jenis hangat yang menyenyakkan, membuat nyaman, dan mengingatkan Ervest pada selimut tebal miliknya dulu yang tertinggal di apartment ibunya saat ia pindah ke rumah Salim. Ia ingat, setelah tidak memiliki selimut itu lagi, satu-satunya hal yang bisa membuatnya nyaman dan merasa hangat seperti itu hanyalah pelukan kakaknya. 

Ervest mendadak emosional hingga matanya memproduksi beberapa tetes air mata. Ia sudah bangun sejak lima belas menit lalu dan kesadaran pun sudah terkumpul penuh di kepalanya, tetapi tidak buru-buru membuka mata apalagi menyingkir dari pelukan Arachi. Ia membetahkan diri bahkan bergelung sedekat mungkin dengan tubuh Arachi dengan harapan memori pelukan kakaknya menjadi nyata melalui pelukan Arachi.

Meski tau yang dilakukannya ini konyol, Ervest tak keberatan. Arachi memberinya kesan nyaman yang sama dengan yang diberikan Rojovan padanya. Keluarga.

"Morning." Arachi menyapa beberapa menit kemudian. Pria itu akhirnya bangun dari tidur pulasnya dan seolah tau Ervest juga telah bangun meski matanya masih terpejam.

Ervest ikut membuka mata selaras dengan senyumnya yang terkembang. "Morning."

Arachi sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat jam pada dinding yang berjarak sekitar empat meter dari ranjang mereka. Sudah pukul sepuluh. Senyumnya tersungging tipis sekaligus jengah.

"Yang aku tau bangun siang itu wajar untuk pengantin baru, jadi jangan merasa bersalah," komentar Ervest membaca mimik muka Arachi dari samping. "Sedikit normal diperbolehkan di kontrak kita."

Lelaki itu kembali merebahkan kepala ke bantal sambil membawa kekehannya. "Apa jadwalmu hari ini?" tanyanya.

Ervest memiliki beberapa rencana hari ini. Dia ingin segera bicara dengan kakaknya, meyakinkan agar lelaki itu mau kooperatif di pengadilan dengan bantuannya. Dia juga ingin bertemu dengan Iksan untuk memastikan persiapan RUPS yang akan digelar besok. Terakhir, dia ingin bertemu Bastian dan memastikan sesuatu. Namun, mengingat ia baru saja menikah, mungkin seharusnya ia hanya memiliki satu jadwal hari ini, menghabiskan waktu bersama Arachi, tapi itu pun terlalu dreamy untuk dikatakan.

Ervest menggumam. "Mm. Tidak ada, selain mengistirahatkan badanku." Mata mereka saling menatap lurus. Gelak terkejut yang terlintas di mata Arachi pun tak luput dari mata Ervest, membuatnya terkekeh. "Karena resepsinya, okay? Bukan apa yang kamu lakukan semalam."

"Oh ... aku lakukan?" sela Arachi terlalu cepat dan dengan kedua alis hampir naik.

Ervest lantas melipat bibir, tersipu sebab apa yang terjadi semalam kini terlintas di kepalanya. Wajah menggoda Arachi itu pemicunya. "Okay, kita," cebik Ervest. "Kita," ulangnya.

Mereka kembali diam setelah tertawa sekali lagi. Saling memandang mata, lalu Ervest merapatkan dirinya yang tiba-tiba merasa dingin jika terlalu jauh dari Arachi.  

***

Pukul dua belas tepat, lima kereta makanan disajikan berduyun-duyun ke kamar mereka. Dengan aroma Italia yang segar dan garnish musim kemarau yang memikat mata, piring-piring dihadapkan ke depan keduanya. Namun, meskipun terakhir kali keduanya menelan makanan siang kemarin sebelum resepsi dimulai, siang ini mereka tidak juga menghabiskan sepiring pun sajian.

Ervest hanya mencicipi dua gigit scallopine dan Arachi hanya mengiris sedikit daging kalkun ke piringnya. Bukannya tidak berselera dan bukannya sajian di hadapan mereka tidak menggugah selera, mereka hanya terbawa suasana hingga tidak merasa lapar sama sekali.

Kemudian, setelah puas hanya mengobrol di tengah berbagai hidangan yang tak tersentuh, keduanya bersiap turun untuk spa. Dari pada makanan, mereka memang lebih membutuhkan pijatan.

I T N L W I #KILLER01Where stories live. Discover now