xxxii. therapy and truth

12.9K 1K 231
                                    

Please listen to Fine Line by Harry Styles while reading this chapter!

Target vote untuk chapter ini aku pingin 700+ sih, sekali2 banyak, emang mau banyak minta. Jangan lupa untuk komentar juga ya biar nge-boost WC. Aku senang bacain & balesin komentar kalian.

Jangan lupa follow Instagram Zhe

Jangan lupa follow Instagram Zhe

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

30 November

Jam berdetak setiap kali panah hitam tipis tersebut melewati angka-angka di balik kaca yang melapisinya. Bunyinya terlalu nyaring di kelelangan ruangan. Ia nyaris terlamun lebih lama ketika terlalu asyik mendengarkan bunyi tik tersebut. Bosan, ia memutuskan memainkan ujung kukunya, mengopek kecil kulit-kulit kering di sekitar kuku sebelum menyandarkan badannya di sofa. Lagi-lagi Gianna menghela nafas karena pusing dengan isi kepalanya, semuanya seperti terpuruk minta dilepas tapi tidak bisa ia ekspresi-kan.

"Maaf Mary, aku lagi banyak pikiran akhir-akhir ini. Perasaanku sering tidak enak." Ucap Gianna, akhirnya. Matanya nyalang memerhatikan meja kaca di depan, masih menghindar untuk menatap wanita di hadapannya, Mary, terapisnya.

Mary mengangguk, karena ia memaklumi sikap Gianna yang kerap menghindar jika membicarakan masalahnya, bagaimana ia menggerakkan bagian badan untuk menutupi kecanggungannya. "Thank you for speaking out. Apa kau nyaman mengatakan perasaanmu saat ini?"

Gianna lagi-lagi mengganti gaya duduknya, ia berdiri tegap sembari memainkan helaian rambut yang ia sampirkan di balik telinga, "aku lelah."

"Have you take your meds?"

Gianna menggeleng dan bibirnya melekuk ke bawah. Mengingat bagaimana badannya banyak letih karena keseringan mengonsumsi obat yang diresepi oleh Mary untuknya, sehingga ia memutuskan untuk berhenti mengonsumsinya satu bulan belakangan. "Tidak, aku berhenti menebus obat karena ototku sering nyeri dan mudah lelah."

Mary mengetuk pena di papannya. "Baik Gianna, tadi kita sudah berada di poin pertikaianmu dengan Dia, dia kembali mencecari dan memperlakuanmu seperti yang tidak kau harapkan. How does that make you truly—truly feel?" Mary kembali menyampaikan konklusi dari perbincangan mereka sebelumnya, sedikit melembutkan gaya bahasa agar tidak menyinggung Gianna.

Tubuh Gianna menegang seketika, "aku takut."

"Apakah kau merasa nyaman mengelaborasikan rasa takutmu?"

"Aku... tidak bisa kemana-mana tanpa memikirkannya. Dia seolah-olah ada dimanapun aku berada, aku takut orang lain bisa terluka karenaku..." Gianna terhenti seperti ada yang sangkut di tenggorokannya sehingga ia sulit bernafas.

"Dan?" Sambung Mary ketika menyaksikan Gianna terhenti seketika, enggan melanjutkan perkataannya. Menjadi terapis Gianna cukup lama, membuatnya terlatih memerhatikan sikap dan postur gadis itu ketika menceritakan nama pria yang ia segani untuk disebutkan.

Whore-ComplexWhere stories live. Discover now