xlvii. his impatient longing

11.3K 1K 203
                                    

It's about a tragedy and lust that blooms into dysfunctional tenderness and intimacy.

Anyway, hari ini chapternya pendek tapi sepertinya cukup mengerikan dan emotional.

Selamat membaca dan maaf belum bisa balas komentar kalian di chapter sebelumnya ❤️

1 Januari

Jet-lag bukanlah sesuatu yang sering diidap Elias jika ia berpergian antar benua atau negara dengan perbedaan waktu yang signifikan. Ia memang tidak mengenal lelah apalagi untuk Gianna sampai-sampai harus terbang dari Paris ke Chicago dalam waktu kurang dari satu jam. Jika saja ia tidak menaiki jet pribadi, ia pastikan penampilannya sudah urak-urakan dan belum mandi.

"Mana?" Tanya Elias memicingkan matanya sembari mengetukkan sepatu di lantai terlapisi karpet.

Pria yang tengah menemani Elias itu 'pun mengeluarkan kartu dari saku dan meletakkannya di uluran tangan Elias.

"Dia ada keluar atau tanda-tanda ia beraktivitas hari ini?"

"Tidak ada, Tuan. Sepertinya Miss Freyja masih tidur."

Elias mengangguk mengerti dan mencuri pandang ke jam tangannya, jarum jam tersebut menunjukkan waktu pukul dua-belas siang.

"Stay behind the door." Ucapnya lugas. Ia membolak-balikkan kartu tersebut sebelum mendekatkannya ke pintu apartemen Gianna. Pria suruhannya sudah membayar pihak administrasi gedung tempat tinggal gadis itu untuk dapat memiliki akses gedung—terutama pintu tempat tinggal Gianna. Selain itu, ia juga sudah melarang orang-orang untuk mengunjungi lantai unit apartemen Gianna, menjaga-jaga apabila gadis itu kabur walaupun probabilitas ia selamat kabur sangat minim.

Sepatu Elias menginjakkan kaki di tempat tinggal gadis itu saat dirinya merenungkan pemandangan yang ia saksikan di depan matanya. Terakhir kali Elias menginjakkan kaki di sini, itu berakhir destruktif dan mengerikan. Benar-benar buruk. Elias ingat bahwa dirinya hampir membunuh seseorang malam itu karena Gianna ketahuan berkencan dengan beberapa pria sembarangan. Seorang bajingan yang tidak pantas untuk mengenalnya sama sekali. Mengingat itu langsung menyadarkan Elias bahwa betapa cepatnya waktu berlalu.

Masih asik dengan kegiatan melihat-lihat, atensi Elias akhirnya menyaksikan sekilas ruangan itu, dapur – mengingatkannya bagaimana Gianna memohon padanya di tempat yang sama beberapa tahun yang lalu. Entahlah, mungkin enam atau lima tahun yang lalu?

Elias mendekat ke kompor dan kursi bar sebelum melihat pisau dapur yang tergeletak di meja wastafel. Dia mengambil pisau tanpa banyak berpikir, percaya bahwa itu akan membantunya menghadapi Gianna karena dia tahu gadis itu takut padanya dan Elias akan menikmati pertunjukan teror jahat melalui matan Gianna yang besar. Namun, Elias tidak memiliki rencana untuk menyakiti Gianna untuk saat ini, faktanya Elias tidak pernah punya niat menyakiti gadis itu. She's too innocent for any kind of pain but he always feasted on her agony.

Gerakan mata Elias berikutnya melewati ruangan di ujung lorong. Gianna belum menyalakan seluruh apartemen, jadi satu-satunya cahaya yang masuk adalah dari jendelanya dan sinar matahari menembusnya. Namun, ruangan itu cukup remang-remang bagi Elias menontoni seluruh sisi ruangan yang tidak terlalu besar tapi pas untuk ditinggali oleh satu orang.

Gaya berjalannya goyah dan tegap pada saat bersamaan. Membuka pintu dan menatap sosok halus yang tertidur di bawah selimut dengan tenang. Gerakan lembut nafas gadis itu tercetak dari gerakan pelan di selimut putihnya. Asumsi Elias benar, Gianna belum bangun.

Whore-ComplexWhere stories live. Discover now