xxxiii. confession

11.7K 1K 315
                                    

Target vote 500++, jangan lupa comment analisis dan pemikiran kalian selama baca chapter ini, terus 5.7k followers untuk next update. Yang belum follow kindly follow Zhe ya.

Terima kasih juga untuk analisis keren kalian yang selalu aku pantengin dan baca. Kalian pinter banget aku jadi mau nangis bahagia di dua chapter terakhir. Sama pesanku untuk be nice to other readers and me, I accept any constructive criticism but please don't be rude and overly pressure me. I appreciate all of you 🤍

Happy reading.

1 Desember

Untuk kesekian kalinya Gianna menyeruput lemon hangat sembari menghentakkan kakinya canggung. Ia sudah bolak-balik ke kamar mandi selama dua kali karena Velicia tidak juga muncul, ini sudah lewat dari 10
menit sejak waktu yang mereka tentukan. Setelah sesi terapinya bersama Dr. Mary beberapa hari yang lalu, ia memutuskan untuk kembali menghubungi sahabat lamanya. Mengejutkannya, gadis itu menjawabnya dengan ramah, sama hectic-nya dengan sikap Velicia yang suportif dan berbeda darinya.

Tidak lama, seseorang menepuk pundaknya sebelum memeluknya dari belakang, tentu saja Velicia.

"Maaf! Maaf! Tadi lama karena Tyler." Ucapnya sembari membawa tas belanjaan dan meletakannya di lantai, ia memutari Gianna sebelum duduk dihadapan gadis itu. Penampilan Velicia jauh berbeda dari yang dulu—ia terlihat lebih anggun dan berkelas.

Gianna menangguk mengirimkan sinyal tidak usah khawatir. "Tunanganmu?" Pura-pura polos.

Velicia menepuk kedua tangan riang sembari tersenyum kecil, "iya!"

Gianna mengerucutkan bibir sembari melihat Velicia dengan puppy eyes-nya, ia ikut bahagia untuk Velicia yang sudah menemukan pasangan hatinya.

"Congrats! I'm happy for you, Vel."

Velicia meletakkan telapak tangan di dada sebelum mengirimkan tanda hati dari tangannya. Gadis itu mencodongkan badan sehingga ia menempel ke meja, Velicia meraih kedua tangan Gianna sampai mereka bertautan, sesekali menggerakkan jempolnya di buku jarinya. "Sudah lama tidak bertemu, aku rindu sekali..." Ucap Velicia.

Ia menjauh ketika bulir air mata terbentuk di matanya, Velicia mengipas wajahnya, terutama area mata. "No, no. Now now tears. Aku tidak boleh menangis Gi, aku baru saja memasang extension. Tidak sekarang."

"Aku juga." Balas Gianna sama antusiasnya. Ia merindukan Velicia dan seribu kegaduhan yang selalu menemaninya.

"So... how's life treating you?" Tanya Velicia, membuat Gianna sedikit enggan untuk menceritakannya sebelum ia menyampaikan pengakuan yang ia sembunyikan dari dunia hampir enam tahun yang lalu. Bagaimana ia bisa berpura mereka baik-baik saja jika ia menanggung beban yang berat? Rasa bersalahnya ke adik Velicia—Vallen—sangat besar. Ia sadar ia tidak bisa hidup di kubangan kebohongan busuk itu lama lagi.

"Vel sebelum itu aku mau bicara sesuatu." Potong Gianna, mengalihkan pertanyaannya. Gianna memutuskan hari ini ia akan melepaskan beban yang menghantuinya.

"Dulu aku ingat Vallen kecelakaan karena tertabrak di halte..."

Velicia mengangguk pelan, tergambar raut wajah skeptisnya. Gadis itu tidak berbicara dan memiringkan kepalanya untuk mendengar penjelasan rancu Gianna. "Itu... karena Elias." Jawab Gianna cepat. Ia tidak berani menatap mata sahabatnya hingga dirinya sedikit menunduk dan menatap jari Velicia yang ditemani cincin tunangannya.

Whore-ComplexTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang