20. RASA BERSALAH

24.9K 1.8K 293
                                    

20. RASA BERSALAH

SENIN, hari yang dicap sebagai hari yang paling menyebalkan bagi sebagian orang. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari dimana pelajaran dimulai kembali setelah kemarin libur yang sangat singkat. Kebanyakan orang berkata bahwa hari senin itu rasanya malas sekali jika harus meninggalkan kasur empuk di rumah. Gaya gravitasi kasur saat hari Senin benar-benar melonjak drastis sepertinya hingga membuat sebagian orang ingin terus rebahan di sana.

Upacara bendera menjadi acara pembuka pada hari ini. Panas matahari terasa menyengat kulit. Suara amanat pembina upacara tidak dihiraukan oleh sebagian siswa. Beberapa dari mereka bahkan ada yang berbicara sendiri.

"Embun lihat gelang aku, cantik enggak?" Karina bertanya kepada Embun. Embun yang mulanya sedang fokus menatap depan sembari mendengarkan amanat dengan khidmat langsung menolehkan kepalanya dan melihat Karina.

Karina kini menunjukkan gelang hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiri gadis itu. Gelang dengan bandul yang sangat sederhana namun terkesan elegan.

Embun tersenyum sembari mengangguk pelan. "Cantik kok."

Karina tersenyum malu. "Ini yang pilih Cakrawala sendiri. Seleranya dia keren banget ternyata. Aku enggak nyangka dia bisa temuin gelang secantik ini." Karina berkata kepada Embun.

"Eh iya, dia enggak beliin aku gelang doang, dia juga kasih aku kalung." Karina memperlihatkan kalung yang kini terpasang di leher gadis itu. Kalung dengan bandul hati.

Embun hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Dalam lubuk hati terdalam, dia juga sangat ingin sebenarnya.

"Cocok enggak sih aku pakai kalung?" Karina bertanya guna memastikan.

"Kamu itu cantik, Karin. Kamu mau pakai apapun itu juga pasti cocok." Embun menjawab sembari menatap Karina yang kini tersenyum malu.

"Ucapan kamu sama kayak yang dibilang sama Cakrawala kemarin." Karina terkekeh pelan. Kemarin Cakrawala juga mengucapkan kata-kata sama seperti yang dibilang oleh Embun barusan.

Embun ikut tersenyum. "Oh ya?"

Karina mengangguk mantap. "Iya. Dia bilang aku cocok pakai apa aja."

Embun mengangguk pelan. Gadis itu kini menatap ke arah depan. Amanat pembina upacara baru saja selesai. Mata Embun kini menatap ke barisan yang menghadap ke arah matahari. Barisan anak-anak bandel yang tidak memakai atribut lengkap. Ada Khatulistiwa dan para sahabatnya yang juga ikut berbaris di sana. Mereke berempat itu memang gemar sekali melanggar peraturan.

"Khatulistiwa sama sahabatnya itu benar-benar berandal sekolah yang harusnya udah di drop out dari dulu." Karina berkata saat ikut melihat pandangan Embun yang kini menatap ke arah Khatulistiwa. "Coba aja mereka enggak ada prestasi sama sekali, pasti udah dikeluarin tuh mereka dari sekolah."

Dendam seorang Karina Arlodia kepada Khatulistiwa tampaknya tidak pernah surut. Gadis itu masih saja emosi jika melihat wajah Khatulistiwa.

"Khatulistiwa itu aslinya baik lho, Rin." Embun berkata.

"Huh! Baik darimana coba? Dia itu pemain hati wanita dan jahat! Tiap dengar curhatan Savana, rasa dendam aku ke dia makin meningkat!"

"Itu karena Savana ceritain hal-hal buruk aja dari sosok Khatulistiwa. Coba deh sesekali kamu bergaul sama dia, kamu pasti tahu sifat aslinya."

"Aku bergaul sama Khatulistiwa? Enggak dulu deh! Maaf-maaf aja, aku enggak mau mereka bawa pengaruh buruk ke hidup aku."

Embun hanya bisa menghela napasnya. Kenapa orang-orang gampang sekali terhasut oleh ucapan orang lain padahal mereka belum tahu aslinya bagaimana? Hanya dari cerita sifat-sifat buruk dari orang lain, kenapa sampai bisa langsung menyimpulkan jika orang itu jahat? Embun tidak habis pikir.

CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang