23. TIDAK BISA MENOLAK

19.2K 1.6K 266
                                    

23. TIDAK BISA MENOLAK

SESUAI dengan obrolannya bersama Cakrawala kemarin malam yang mengatakan untuk berangkat pagi dan bertemu di lorong lab bahasa, pagi ini Embun ternyata yang datang terlebih dahulu. Gadis itu berdiri merapatkan tubuhnya ke tembok sembari menatap ke arah depan. Jam masih menunjukkan pukul 06.15. Sepertinya dia terlalu bersemangat pagi ini.

Menghela napasnya pelan, pagi ini cuaca terasa begitu dingin. Mungkin ini adalah efek dari hujan deras yang mengguyur tadi malam. Genangan air bahkan masih terlihat di lapangan.

Embun melirik ke kanan dan ke kiri. Belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kedatangan seorang Cakrawala Manggala. Gadis itu lalu kembali menatap ke arah depan sembari bersenandung pelan.

Dinginnya cuaca pagi ini terasa menembus ke pori-pori. Untung saja pagi ini dia memakai jaketnya, sehingga tubuhnya bisa merasakan sedikit kehangatan

"Maaf ternyata gue yang ngaret." Ucapan itu membuat Embun menolehkan kepalanya dan menatap Cakrawala yang kini menggunakan jaket denim untuk membalut tubuh bagian atasnya menutupi kemeja seragam putih. Rambut laki-laki itu tampak acak-acakan dan terlihat sedikit basah. Aroma parfumnya menguar di udara menciptakan kesan menyejukkan.

Embun menggeleng sembari tersenyum tipis. "Enggak papa." Gadis itu kini membuka tasnya guna mengambil kertas yang merupakan surat perjanjian dalam bentuk fotokopian itu.

"Lo udah dari tadi?" Cakrawala bertanya sembari menatap Embun yang kini nampak sibuk sendiri.

"Belum terlalu." Jawabnya singkat.

"Tadi gue harus adu bacot dulu sama si Rara, jadi maaf gue ngaret." Cakrawala memberitahu.

Embun terkekeh pelan. Kertas fotokopian surat perjanjian kini sudah berada di tangannya.

"Adu bacot masalah apa lagi pagi-pagi begini?" Embun bertanya. Dia menjadi rindu Rara Manggala, sepupu Cakrawala yang masih duduk di bangku kelas IX SMP itu.

Cakrawala tampak menghela napasnya kasar. "Cuma masalah sepele doang rebutan cokelat hangat. Tapi bukan Rara namanya kalau enggak buat drama. Itu anak diajak adu bacot malah nangis kejer terus ngadu ke Mama dan alhasil gue yang ngalah dan harus minta maaf ke dia padahal bukan salah gue. Si bocil mata duitan itu enggak mau maafin gue gitu aja. Gue kasih duit baru mau maafin dia gue."

Embun tampak tersenyum tipis. "Perkara cokelat hangat doang sampai segitunya?"

Cakrawala mengangguk. "Gue sama dia udah biasa rebutan kayak gitu. Gue pantang ngalah sebelum dia nangis. Gue tunggu sampai dia nangis baru gue kasih."

Embun hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak paham dengan Cakrawala yang suka sekali menjahili sepupunya itu. Selepas makan malam bersama keluarga Manggala hari itu, kini Embun menjadi akrab dengan Rara. Dia dan Rara sering bertukar pesan bahkan menghibahkan Cakrawala bersama. Dari Rara, dia mendapatkan informasi tentang kebiasaan Cakrawala saat berada di rumah.

"Rara waktu itu ngajak aku main." Embun memberi tahu.

Cakrawala tampak mengerutkan keningnya. "Main ke mana?"

"Dia ngajak ke pantai. Tapi belum aku kasih kepastian soalnya aku juga akhir-akhir ini sibuk."

Cakrawala hanya membalas dengan anggukan.

"Oh ya, nih, Cak!" Embun menyerahkan kertas fotokopian surat perjanjian yang dia buat dengan Cakrawala. Cakrawala dengan segera menerimanya.

Laki-laki itu tampak tertawa pelan saat menerima dan membaca surat itu sekilas.

"Celengannya gimana? Udah siap?" Laki-laki itu bertanya. Dia baru saja melipat kertas tadi dan memasukkannya ke dalam tas miliknya.

"Udah ada di kamar aku. Kamu udah ada niatan mau ngisi?" Embun bertanya sembari tertawa.

CAKRAWALAWhere stories live. Discover now