44. DIA PERGI

30.1K 2.3K 599
                                    

44. DIA PERGI

WAKTU berjalan dengan begitu cepat. Terhitung sudah satu bulan lamanya seorang Cakrawala Manggala menghabiskan harinya hanya dengan tidur di kasur rumah sakit dengan berbagai alat penunjang kehidupan di tubuhnya. Laki-laki seperti tidak ada tanda-tanda akan membuka matanya sama sekali. Dia sepertinya sedang mimpi indah hingga membuatnya tak kunjung membuka mata.

Selama satu bulan itu pula Embun tidak pernah absen mengunjungi Cakra setelah pulang sekolah. Terhitung beberapa kali dia pernah sampai menginap di sini karena tidak ingin meninggalkan Cakrawala sama sekali.

"Cak, kamu enggak mau bangun?" Embun bertanya pelan. Gadis itu kini duduk di kursi yang tepat berada di sebelah brankar tempat Cakrawala berbaring.

"Udah satu bulan, Cak. Kamu mimpi apa sih sampai enggak mau buka mata?" Embun terlihat mendengus kesal.

"Rambutmu sampai gondrong gini gara-gara lama enggak dipotong." Tangannya bergerak untuk mengelus rambut hitam milik Cakrawala Manggala yang kini memang terlihat semakin gondrong.

Embun terdiam beberapa saat sembari menatap wajah Cakrawala.

"Aku enggak pernah jadian sama Gemintang, Cak. Aku sayangnya cuma sama kamu. Kamu katanya mau berjuang buat aku, tapi kenapa di saat aku udah maafin kamu, kamu malah enggak bangun-bangun?" Embun kembali berbicara.

"Bangun dong, Cak. Kamu enggak kasihan sama aku yang ngomong sendiri kayak orang gila kayak gini?" Lagi dan lagi Cakrawala masih diam.

Embun terlihat menghela napasnya pelan. Tangannya kini menggenggam tangan Cakra dan mengusapnya dengan lembut beberapa kali.

"Kak Embun." Suara itu membuat Embun menolehkan kepalanya. Terlihat Rara yang baru saja datang. Gadis yang membiarkan rambut hitamnya tergerai bebas itu kini datang masih dengan balutan seragam putih biru khas anak SMP.

Tidak hanya Rara yang datang. Clara, mama dari Cakrawala juga terlihat di sana dengan wajah yang nampak pucat. Wanita itu terlihat semakin kurus dan seperti ingin menangis saat melihat keadaan Cakrawala. Sebagai seorang ibu, dia tentu merasa terpukul kala melihat anaknya yang terbaring lemah seperti saat ini.

"Sayang, kamu udah makan?" Clara berjalan mendekati Embun. Wanita itu memang sudah menganggap Embun seperti anaknya sendiri.

Embun mengangguk pelan. "Udah kok, Tante." Sudut bibir Embun tertarik membentuk senyuman tipis.

Clara mengangguk pelan. Terlihat wanita itu kini berjalan mendekati Cakrawala yang masih setia menutup matanya. Tubuhnya dia majukan untuk memberikan kecupan hangat ke dahi anak keduanya itu.

"Cakra, kamu enggak kangen sama mama? Mama kangen sama kamu, sayang. Bangun yuk." Terlihat kini tangan Clara mengelus lembut rambut anaknya.

"Kamu enggak kangen sama masakan mama? Kamu enggak sayang lagi ya sama mama? Kenapa kamu enggak bangun-bangun sih sayang? Mama pengen lihat mata kamu. Kamu lagi mimpi apa di sana sampai enggak mau bangun, hm?" Air mata wanita itu terlihat mengalir di sana.

Setiap mengunjungi Cakra, maka tidak ada sekalipun dia tidak menangis. Air matanya tidak pernah bisa terbendung lagi. Dia benar-benar merasa lemah saat melihat kondisi putra keduanya itu.

Embun menahan air matanya yang sepertinya sebentar lagi akan ikut meluruh. Gadis itu mendongakkan kepalanya.

"Cepat bangun. Mama selalu setia nunggu kamu bangun sampai kapanpun itu." Clara kembali melayangkan ciumannya. Wanita itu kini menarik tubuhnya.

Tangan Clara kini berpindah mengelus rambut Embun. "Sabar ya, Sayang. Kita tunggu Cakra sampai bangun. Tante yakin dia pasti bangun."

Embun mengangguk pelan sembari tersenyum. Dalam hatinya, dia selalu menanamkan keyakinan jika pasti Cakra akan bangun dari tidur panjangnya itu. Embun yakin hal itu akan terjadi.

CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang