dua puluh tujuh

108 20 28
                                    

JANGAN LUPA VOTE COMMENT😗

_____

DUA PULUH TUJUH – PENGAKUAN

Sudah satu minggu sejak kejadian itu. Alea masih belum sadarkan diri. Gadis itu masih setia tidur tenang.

Sudah satu minggu pula Reya setia menemani Alea di rumah sakit, mengajak gadis itu berbicara dan bercerita layaknya Alea dapat mendengar semuanya. Dia selalu menguatkan Alea dan meminta gadis itu untuk membuka matanya.

"Aya ... bangun dong. Sandi udah diurus kok. Lo udah aman. Bangun ya..." gumam Reya. Dia baru saja mendapat kabar tentang kasus Sandi dari kepolisian. Ternyata laki-laki itu mengidap Skizofrenia hingga ia tidak dapat membedakan kenyataan dengan halusinasinya. Sandi mengaku pada psikolog bahwa ia tidak sadar melakukan itu semua pada Alea. Ia mengatakan bahwa ia tidak akan melakukan itu semua karena ia sebenarnya menyukai Alea. Akibat penyakitnya, Sandi tidak dapat dipidanakan dan akan ditempatkan di rumah sakit jiwa untuk perawatannya.

Reya terperanjat ketika merasakan tangan Alea bergerak pelan. Ia buru-buru menarik tangannya lalu memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Alea.

"Kok kamu di luar, Re?" tanya Friska yang baru saja tiba di rumah sakit.

"Tadi tangan Aya gerak, Ma. Sekarang dia lagi diperiksa."

Friska tersenyum lega. "Semoga dia udah sadar ya..."

Reya mengangguk.

Tak lama dokter dan perawat ke luar dari ruang rawat Alea.

"Dokter, gimana keadaan Alea?" tanya Friska.

"Alea sudah sadar, Bu. Namun tubuhnya masih lemah. Sekarang dia sedang kembali beristirahat." Dokter itu tersenyum lalu berjalan meninggalkan Friska dan Reya.

Friska dan Reya buru-buru masuk ke kamar Alea. Gadis itu tampak sedang tertidur.

Mendengar suara pintu kembali terbuka, Alea perlahan membuka matanya.

"Alea..."

Alea tersenyum tipis.

"Syukurlah kamu udah sadar. Tante khawatir banget sama kamu. Apa rasanya sekarang, Nak?"

"Sakit, Tante..." gumam Alea pelan merasakan nyeri di lengannya.

"Kamu makan dulu terus istirahat lagi ya. Kamu mau apa, sayang? Biar Tante beliin."

Alea menggeleng. "Nggak apa-apa, Tante. Makasih ya ... maaf Alea jadi ngerepotin Tante sama Kak Reya," ucapnya sambil menatap Friska dan Reya bergantian.

Friska menggeleng lalu mengusap kepala Alea lembut. "Kamu nggak ngerepotin sama sekali ... nggak usah dipikirin ya, yang penting kamu harus cepat sembuh."

Reya berjalan lalu duduk di kursi yang ada di samping ranjang Alea.

"Reya, Mama tinggal ke luar sebentar ya. Mama mau ketemu dokternya lagi. Kamu suapin Alea ya."

"Iya, Ma..."

Reya menatap Friska yang menutup pintu kamar. Pandangannya beralih ke Alea.

"Lo nggak diapa-apain kan sama Sandi?" tanyanya.

Alea menggigit bibirnya mendengar nama Sandi. Ia masih merasa sangat takut dan merasa trauma ketika terbayang-bayang kejadian itu.

"Ya..."

Alea menggeleng. "Aku nggak kenapa-kenapa, Kak."

"Lo nggak usah takut. Sandi udah diurus sama polisi. Dia ada penyakit mental."

Alea mengangguk pelan.

"Makan..." ucap Reya sambil mengambil piring di meja lalu membantu Alea untuk membenarkan posisinya.

"Sakit, Kak..." gumam Alea sambil memegangi lengan kanannya yang tertembak tempo hari.

"Pelan-pelan aja..." sahut Reya lalu mulai menyuapkan sesendok bubur.

"Kak..."

"Hm?"

"Yang kemarin itu ... beneran?" tanya Alea pelan.

Reya mengernyit. "Yang mana?"

Alea mengulum senyum malu. "Yang waktu aku ketembak."

"Yang apa?" tanya Reya sambil tetap fokus menyuapi Alea.

"Kakak sayang sama Aya..." gumam Alea pelan.

Reya langsung terdiam dan mengambil gelas. "Minum dulu..."

"Aku belum haus..." jawab Alea.

"Itu ... gue sayang lo sebagai adik."

Senyum di wajah Alea langsung menghilang. Gadis itu tertunduk lesu. Ia seharusnya sadar, hanya Dinda yang ada di hati Reya. "Jadi ... nggak suka?" tanyanya pelan.

Reya menunduk. Ia bingung harus menjawab apa. "Ehm ... makan dulu." Laki-laki itu mengarahkan sendok ke mulut Alea untuk mengalihkan pembicaraan.

"Kalo gitu, Aya koma lagi aja gimana? Biar diajak ngomong sama Kak Reya setiap hari..."

Reya tertegun. "Jangan!"

"Kenapa jangan? Aku suka, waktu aku koma, Kak Reya ajak aku ngobrol. Panjang lagi ngomongnya ... nggak kayak sekarang."

Reya menarik napas panjang. "Iya ... gue juga suka sama lo."

"Beneran?"

Reya mengangguk.

"Beneran nggak? Atau Kakak bilang gitu gara-gara aku bilang mau koma lagi? Makanya Kakak bilang kayak gitu—"'

Alea berhenti berbicara. Matanya membulat sempurna ketika merasakan bibir Reya menyentuh bibirnya sekilas.

"Kak..."

"Gue beneran..."

Alea mematung. "Aku hamil nggak?"

Reya mengusap wajahnya kesal. "Enggak bakalan hamil, Aya..."

Alea tersenyum malu. "Iya ... lupa."

...

Hari ini, Alea sudah boleh pulang karena keadaannya sudah jauh membaik. Gadis itu memandangi Reya yang sedang membereskan barang-barangnya. Kedua sudut bibirnya perlahan terangkat mengingat pengakuan Reya tempo hari.

"Udah semua?" tanya Friska yang baru selesai mengurus biaya administrasi.

"Udah," sahut Reya.

"Tante..."

Friska menoleh. "Iya? Kenapa, Le?"

"Nanti biaya rumah sakitnya Alea ganti ya..."

Friska mendengkus. "Apaan sih ... nggak usah."

"Tapi, Tante..."

"Udah ah ... nggak usah dipikirin ya. Tante tuh udah anggap kamu sebagai anak Tante sendiri. Jangan merasa nggak enak gitu."

Reya berjalan mendekati Friska dan Alea.

"Ya udah, kita pulang ya..."

Alea mengangguk.

Reya membantunya untuk berdiri lalu mereka bertiga berjalan beriringan ke mobil.

"Kamu tidur di rumah Tante lagi ya, Le. Tante khawatir kalau kamu di rumah sendirian."

Alea mengangguk sambil menatap Reya sekilas. "Iya, Tante..."

...

"Kak..."

Reya yang sedang merapikan kamar menoleh ke arah Alea.

"Holly mana?"

"Ada di kamar gue."

Alea menghela napas lega. Ia takut anjing kesayangannya itu mati karena tidak terawat selama ia di rumah sakit.

"Udah lo istirahat aja..." Reya berjalan mendekati Alea lalu menarik selimut hingga menutupi tubuh Alea.

Alea tersenyum malu.

Reya berjalan ke meja belajar lalu mengambil sebuah buku.

"Semua materi selama lo nggak masuk udah gue catetin di sini ya."

Senyum Alea mengembang sempurna. "Serius, Kak?"

Reya mengangguk.

"Kak, sini bentar..."

Reya kembali menghampiri Alea.

"Kenapa?"

"Duduk di sini..." Alea menepuk kasurnya meminta laki-laki itu untuk duduk di sampingnya.

Reya menurutinya.

Tanpa aba-aba, Alea memeluk Reya.

"Makasih ya, Kak..."

Reya tersenyum lalu mengacak rambut Alea pelan. "Sama-sama. Udah, istirahat ya. Kalo ada apa-apa panggil gue aja."

Alea mengangguk. "Kak..."

"Hm?"

"Maaf juga."

Reya mengernyit. "Buat?"

"Ternyata Aya nggak bisa kalau nggak ngerepotin Kak Reya. Maaf ya Aya selalu bikin Kak Reya repot..."

Reya tersenyum geli. "Makanya jangan sombong."

Alea memberengut kesal. "Abis Kak Reya nyebelin, marah-marah terus sama Aya..."

"Ya udah istirahat dulu ... cepet sembuh. Gue nggak masalah selalu lo repotin, asal lo tetap sehat. Oke?" Reya mengusap kepala Alea sekali lagi sebelum akhirnya berjalan ke luar kamar.

Setelah Reya menutup pintu, Alea mengangkup kedua pipinya lalu tersenyum kegirangan.

____

GIMANA PART INIIII??

Spam komen next di sini biar aku semangat nextnya yuhuu!

Jangan lupa follow tiktok @wattpad.katarinakr (masi sama yg kemaren cuma ganti nama wkwkwk)

Roleplayer juga masih open yaaa! I Love You Bad juga masih open PO buruan di order xixixixi🥰🥰

7 Oktober 2021

Alea & ReyaWhere stories live. Discover now