empat puluh satu

75 8 7
                                    

EMPAT PULUH SATU - TITIK TERANG

Sudah seminggu ini Alea menghindari Reya, baik di sekolah mau pun jika laki-laki itu mengiriminya pesan. Ia selalu mencari alasan dan menghindar ketika Reya mengajaknya bicara. Ketika di sekolah, Alea selalu berpura-pura tidak menyadari kehadiran Reya dan berlagak sibuk ketika laki-laki itu mengajaknya bicara. Pertanyaan dari teman-temannya mengenai sikapnya akhir-akhir ini pun tidak pernah ia jawab.

Semua hal itu ia lakukan agar bisa sedikit lebih tenang dan ia juga tidak mau membuat Reya ikut pusing dengan semua masalahnya karena minggu depan laki-laki itu juga sudah akan menempuh Ujian Nasional. Walaupun ia tahu dengan menggantung laki-laki itu juga akan membuatnya kepikiran. Namun Alea menanggap dengan cara ini Reya tidak akan sepusing memikirkan masalah-masalahnya.

Alea berjalan dari parkiran sambil memasukkan kunci motornya ke saku seragamnya. Pergerakannya terhenti ketika melihat sepasang sepatu berdiri di hadapannya. Dengan berat hati, ia mengangkat kepala dan melihat Reya menatapnya.

"Mau sampai kapan lo ngehindar dari gue?"

Alea menghela napas pelan lalu menggeleng. "Aya nggak ngehindar. Aya cuma pengin Kak Reya fokus sama Ujian Nasional. Nanti setelah Kak Reya selesai Ujian Nasional kita baru ngomongin masalah yang kemarin."

Reya menggeleng. "Gue mau ngomong sama lo nanti sore. Temuin gue di taman. Nggak ada alasan lagi."

Belum sempat Alea menjawab, Reya sudah melangkah pergi.

...

Alea masih terdiam di parkiran taman. Ia masih menimbang-nimbang, apakah dia benar-benar akan menemui Reya, atau kembali pulang ke rumahnya saja. Karena sejujurnya dia juga belum siap untuk berbicara pada Reya dengan situasi seperti ini. Ia takut malah menangis nantinya.

Sebelum sempat memutuskan, Alea melihat Reya duduk tidak jauh dari tempatnya berdiri. Laki-laki itu menatapnya. Alea menghela napas beberapa kali sebelum akhirnya memantapkan langkahnya untuk berjalan mendekati Reya dengan jantung yang mulai berdebar tak beraturan.

Baru saja Alea berdiri di depan Reya, selanjutnya gadis itu dibuat terkejut ketika tiba-tiba Reya memeluknya. Alea baru saja ingin mengangkat tangan membalas pelukan Reya, namun yang akhirnya ia lakukan adalah mendorong Reya pelan.

"Malu, Kak. Dilihatin orang..."

"Kita pindah aja ya. Sambil ngopi."

Alea mengangguk lalu mengikuti Reya berjalan ke parkiran. Detak jantungnya tak berhenti berdebar kencang sejak ia memilih untuk menghampiri Reya di sini.

...

"Lo cari kerjaan ya?" tanya Reya tiba-tiba setelah pesanan mereka sudah tiba.

Alea menatap Reya dengan bingung. Gadis itu hanya menunduk, bingung harus menjawab apa sekaligus bingung dari mana laki-laki itu tahu? Dan kenapa tiba-tiba Reya menanyakan hal itu?

"Aya..."

"Iya, Kak..." jawabnya ragu.

"Kenapa?"

"Aya cuma pengin belajar mandiri aja kok..."

Reya mengangguk paham, padahal ia sebenarnya tahu bukan itu alasan Alea mencari pekerjaan.

"Soal Papa—"

"Aya nggak apa-apa kok, Kak. Aya bisa terima kalau Om Haris nggak suka sama Aya," potong Alea cepat.

Reya menatap Alea dengan dingin karena tida suka ucapannya dipotong. "Bukan itu."

"Terus?"

"Soal omongan dia, nggak usah lo masukin ke hati. Itu dia lagi emosi aja, nanti juga dia bisa terima lo kok."

Alea menggeleng. "Aya nggak mau Kak Reya ngelawan Om Haris cuma demi Aya, Kak. Kalau emang akhirnya kita nggak bisa bareng juga ya udah, berarti kita enggak jodoh."

Reya menarik napas. "Segitu gampangnya lo nyerah?"

"Aya bukannya nyerah. Aya cuma nggak mau Kakak jadi anak kurang ajar."

"Gue nggak kurang ajar karena gue nggak ngelawan. Gue cuma mau meluruskan apa yang dipikirin sama Papa. Karena sebenarnya yang dia omongin itu nggak masuk akal, gara-gara dia benci sama Papa lo terus lo jadi ikutan dimusuhin. Padahal lo nggak ada sangkut pautnya sama ini semua."

Alea tersenyum simpul. "Alea nggak apa-apa kok, Kak. Kak Reya nggak usah mikirin itu dulu. Yang penting Kak Reya belajar aja biar nilai Ujian Nasionalnya bagus," ucapnya diakhiri senyum lebar untuk meyakinkan Reya bahwa dirinya baik-baik saja.

"Nanti kita bahas lagi setelah gue ujian ya. Tapi gue tetep bakal berusaha ngubah pikirannya Papa."

Alea mengangguk.

...

Alea duduk di teras rumahnya dengan pandangan kosong setelah Reya mengantarnya. Ia terkadang merindukan saat-saat di mana ia dan Reya bisa bertemu setiap saat. Namun, ia harus sadar situasinya sekarang sudah beda. Ditambah lagi Reya harus mempersiapkan Ujian Nasional yang sudah tinggal menghitung hari. Walaupun begitu, ia sedikit lega karena akhirnya sudah berbicara dengan Reya.

Alea menoleh lalu tersenyum saat melihat Holly berlari ke luar lalu menggoyang-goyangkan ekor di hadapannya.

"Holly, mau main ya?" tanya Alea. Gadis itu lantas berdiri lalu mengambil bola kecil kesukaan Holly lalu melemparkannya, anjing kecil itu langsung berlari mengejar bola yang dilempar Alea lalu tak lama kembali berlari menghampiri pemiliknya sambil menggigit bola.

"Good boy," ucap Alea sambil mengusap-usap kepala anjing kecil kesayangannya itu.

Alea beranjak dari duduknya lalu berlari, Holly langsung mengikutinya. Alea melemparkan bola itu sambil bermain kejar-kejaran dengan Holly sambil tertawa lepas.

Tak lama Alea jongkok sambil mengatur napasnya. Holly menghampirinya dan mengajaknya kembali bermain. "Bentar, Holly. Aya capek..."

Holly ikut duduk di depan Alea. Gadis itu mengambil bola di depannya lalu melemparkannya lagi, namun Holly tetap duduk di depannya.

"Itu ambil, Holly," ucap Alea sambil menunjuk bola.

Holly tetap diam di depan Alea tanpa bergeming.

"Ih, kok kamu ikut capek sih..." gumam Alea. Akhirnya gadis itu berdiri lalu mengambil bola yang tadi dilemparnya dan kembali duduk di kursi yang ada di teras rumahnya.

...

Alea berjalan ke kelas dengan perasaan yang sudah lebih baik dari hari-hari sebelumnya, entah mengapa setelah berbicara dengan Reya, ia merasa bebannya menjadi sedikit berkurang, ia merasa menemukan titik terang dari masalah yang ia alami. Walaupun memang belum ada penyelesaian dari masalah-masalahnya. Padahal hari-hari sebelumnya setelah Alea mengetahui fakta bahwa Ayah Reya tidak menyukainya, ia seperti kehilangan arah.

"Pagi..." sapa Alea pada Varsha, Lila, dan Miki yang sudah datang terlebih dahulu.

"Pagi, pagi, pagi, luar biasa!" seru Miki membuat Varsha yang sedang bermain game di ponselnya langsung berbalik menatap Miki dengan tatapan aneh.

"Gak jelas lo," celetuk Varsha lalu kembali menghadap ke depan.

"Lo mah gue ngapain aja selalu nggak jelas dimata lo," sahut Miki dengan nada dramatis membuat Varsha mendelik kesal.

Alea tertawa geli melihat kedua sahabatnya yang entah kenapa tidak pernah akur itu lalu meletakkan Petri di kursinya. "Berantem mulu, nggak capek?" tanya Alea.

"Lo sendiri juga," jawab Varsha.

Alea memberengut. Ternyata Varsha menyadari bahwa ia dan Reya kemarin-kemarin sedang ada masalah. "Siapa yang berantem?" tanyanya.

Varsha berdecak. "Ya lo lah, masa Petri, Le."

Alea tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya. "Enggak berantem kok."

Lila dan Miki hanya saling pandang lalu sama-sama mengedikkan bahu. Jelas mereka bertiga tahu kemarin-kemarin hubungan Alea dan Reya sedang tidak baik-baik saja, karena sejak satu minggu yang lalu Alea sering murung, walaupun gadis itu jarang menampilkan kesedihannya, selain itu Alea dan Reya juga tidak pernah pulang bersama dan tidak bertegur sapa di sekolah. Setiap mereka memaksa Alea bercerita juga gadis itu hanya mengatakan bahwa ia tidak ada masalah apa-apa.

Sebenarnya bukannya Alea tidak mau bercerita pada sahabat-sahabatnya, ia hanya tidak mau menambah beban pikiran mereka dan merasa dikasihani, karena Alea sudah terlalu sering mengalami hal itu semenjak kedua orang tuanya meninggal dan tragedi bersama Sandi waktu itu.

_____

Gimana part iniii? Maaf telat sehari, lupa kalo jadwal update xixixixi

Dear Alea...

Dear Reya...

26 November 2021

Alea & ReyaWhere stories live. Discover now