empat puluh enam

75 8 4
                                    

EMPAT PULUH ENAM - MELEPASKAN

Sudah seminggu Alea menjalankan ujian kenaikan kelas dengan persiapan yang sangat tidak matang karena otaknya selalu dipenuhi oleh Reya. Sudah seminggu pula Reya selalu menjemputnya di depan sekolah, tetapi Alea juga selalu menjauhinya dan berusaha menghindari laki-laki itu.

Hari ini hari terakhir ujian, rasanya sedikit lega mengingat ia tidak perlu susah-susah belajar lagi ditengah pikirannya yang kalut. Di sisi lain, dia juga sebenarnya sedikit takut dengan hasilnya karena ia tidak mempersiapkannya dengan baik.

"Woi ngelamun aja lo! Mau pulang nggak?" Miki menepuk pundak Alea hingga membuat gadis itu terlonjak kaget. Alea tersenyum kikuk lalu menatap kelasnya yang sudah sepi, hanya tersisa ia dan ketiga sahabatnya.

"Mikirin apaan sih, Le?" tanya Varsha sambil menutup ritsleting tasnya.

Alea menggeleng. "Mikirin hasilnya aja. Gue nggak terlalu matang belajarnya."

Lila duduk di meja Alea lalu memegang pundak gadis itu. "Pasti bagus lah. Lo kan pintar."

"Tapi gue benar-benar enggak fokus sama sekali."

"Udah, santai aja. Pasti kebantu sama nilai tugas lo." Miki menambahkan.

Alea mengangguk. Ia akhirnya mengambil tasnya lalu berdiri. "Ya udah, gue balik ya..."

"Sama siapa, Le?" tanya Miki.

"Naik bus."

"Pretty ke mana?"

"Tadi gue malas naik motor, jadi gue naik bus deh."

"Gue antar aja."

"Nggak usah, Mik. Mendung juga, dari pada lo kehujanan. Mending langsung balik aja. Bye, guys!" Alea melambaikan tangannya sambil tersenyum riang lalu berjalan ke gerbang.k

Ketika sampai di gerbang sekolah, hari-hari sebelumya Alea selalu berjalan cepat dan berdebat dulu dengan Reya yang memaksa untuk mengantarnya pulang. Namun, hari ini laki-laki itu tidak terlihat keberadaannya. Alea bernapas lega. Tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, dia juga merasa kehilangan. Apakah Reya benar-benar sudah tidak akan mencarinya lagi?

Alea menepis pikiran itu. Ia seharusnya merasa senang karena Reya berhenti memperhatikannya.

...

Alea duduk di samping jendela ditemani segelas susu stroberi hangat, ia menatap rintik hujan yang jatuh. Tak ada ekspresi apapun yang ia tunjukkan. Sejujurnya ia merindukan Reya di sampingnya, menemaninya saat kesepian, menbawakan makanan dan menemaninya makan, membantunya mengerjakan tugas, menemaninya menonton Strawberry Shortcake walau laki-laki itu tidak menyukainya. Banyak yang ia rindukan dari Reya.

Perlahan Alea berdiri. Ia mengambil bucket hat stroberi pemberian Reya lalu memakainya. Setelah itu, gadis itu kembali ke posisi semula sambil memeluk lututnya sendiri. Berusaha memberi kehangatan pada tubuh mungilnya sekaligus menghilangkan perasaan-perasaannya pada Reya.

Alea menoleh menatap Holly yang tertidur di kasur dengan nyaman, ditambah suasana yang sejuk. Ia tersenyum tipis. Rasanya hidup menjadi Holly tidak seberat menjadi manusia, yang dipaksa dewasa meski ia belum siap. Tapi jika disuruh menjadi anjing tetap saja Alea memilih sebagai manusia walaupun beban yang ditanggung pasti lebih berat.

Lamunannya terhenti ketika mendengar ketukan yang cukup keras. Gadis itu berdiri lalu berjalan ke luar. "Siapa sih datang hujan-hujan gini..." gumamnya.

Alea membukakan pintu. Ia membeku beberapa detik. Baru beberapa menit yang lalu dia berharap agar dapat melupakannya, tetapi sekarang orang yang paling ingin ia lupakan justru berdiri di hadapannya.

"Kak Reya ngapain hujan-hujan ke sini?" tanya Alea dingin. Walaupun begitu, sebenarnya ia mengkhawatirkan Reya yang datang dengan keadaan basah kuyup.

"Pengin mampir aja..." gumam Reya. Ia sekilas melirik kepala Alea yang tertutup topi pemberiannya. Kedua sudut bibirnya terangkat tipis.

"Masuk..." gumam Alea saat melihat baju Reya basah.

Setelah mempersilakan Reya masuk, Alea berjalan ke kamar Ayahnya untuk mengambil baju, celana, dan handuk lalu memberikannya pada Reya. "Ganti baju dulu."

Reya mengambil pakaian dari tangan Alea. "Makasih"

Alea hanya mengangguk. Sembari Reya mengganti baju, ia kembali ke kamar untuk mengambil susu stroberinya sekaligus membuatkan satu gelas lagi untuk Reya.

Tepat ketika Alea berjalan dari dapur, Reya juga keluar dari kamar mandi. Awalnya gadis itu tak acuh. Namun, ketika melihat sesuatu yang janggal ia, melirik sekilas. Matanya langsung membulat sempurna melihat Reya hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya dan bertelanjang dada. Alea buru-buru memalingkan wajah dan ingin menutupi wajahnya dengan tangan hingga susu stroberi di tangannya hampir tumpah. "K-Kak Reya ngapain?!" tanyanya panik.

"Itu, baju sama celana yang lo kasih jatuh," jawab Reya sambil mengangkat baju dan celana yang basah dengan canggung.

Alea meletakkan susunya di lantai lalu berlari ke kamar dengan perasaan canggung sekaligus jantung yang berdebar kencang.

Setelah mengambil baju dan celana, Alea kembali ke depan kamar mandi lalu menyerahkan pakaian itu pada Reya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya ia gunakan untuk menutupi matanya.

Reya kembali masuk ke kamar mandi.

Alea duduk di sofa dengan wajah memerah padam. Dada bidang Reya kembali muncul di ingatannya. Gadis itu buru-buru menggeleng kuat. "Udah gila lo, Aya!" gumamnya.

Alea berdeham saat Reya kembali dan duduk di sampingnya. Tangannya menggeser susu stroberi hangat ke hadapan Reya. "Adanya susu stroberi doang. Nggak apa-apa kan?" gumamnya untuk menutupi rasa gugupnya.

Reya mengangguk.

"Ya ... gue mau ngomongin masalah kita."

Air muka Alea langsung berubah mendengarnya. Gadis dengan topi stroberi yang tadinya masih malu-malu dan menatap ke luar, menoleh sebentar ke arah Reya lalu kembali membuang muka sebagai tanda bahwa ia sudah muak dengan semua ini. "Masalah apa? Udah nggak ada yang perlu dibicarain kan? Semuanya udah selesai."

"Dengarin penjelasan gue dulu..."

Alea menghela napas pelan lalu akhirnya mengangguk. "Ya udah."

"Gue sebenarnya udah siap-siap untuk datang ke sini, tapi perawatnya Dinda telepon, katanya Dinda trauma lagi. Gue bukannya nggak prioritasin lo, tapi Dinda pernah hampir bunuh diri karena traumanya."

Alea tersenyum tipis. Saat ia meminum banyak obat mabuk perjalanan hingga tidak sadar, apa itu bukan hampir bunuh diri juga? Tapi Reya tidak mengingatnya. Ia hanya mengkhawatirkan Dinda.

"Lanjutin..." gumam Alea sambil meminum susu stroberinya.

"Gue pacaran sama lo bukan karena kasihan. Gue benar sayang sama lo. Nggak pernah gue sekalipun mikir pacaran sama lo cuma karena gue kasihan. Gue udah lupain Dinda ... gue cuma anggap dia sebagai adik gue." Reya menatap Alea dalam, terlihat benar-benar serius dengan ucapannya. Ego Alea menentang gadis itu untuk sepenuhnya percaya pada laki-laki di hadapannya.

Alea tertawa sumbang. Ia tetap menghadap ke depan dan hanya sesekali menatap Reya. "Aku iri sama Dinda, Kak. Aku iri sama orang yang Kak Reya sebut sebagai adik itu. Aku iri Kakak bisa ketawa lepas dan kelihatan bahagia banget sama Dinda, sementara aku nggak pernah lihat hal itu waktu Kak Reya bareng sama aku. Aku jadi bingung, yang dianggap adik tuh Dinda atau aku?"

Reya menunduk. "Sorry kalau lo ngerasa gitu..." gumamnya tanpa memberikan pembelaan.

Alea menautkan kedua alisnya hingga keningnya berkerut. Ia tidak cukup puas dengan jawaban Reya. "Kak Reya cuma bisa minta maaf? Kak Reya nggak bisa jawab apa-apa lagi, 'kan? Berarti omongan aku benar? Kalau iya, berarti aku emang aku udah nggak punya alasan apapun untuk bikin Kak Reya stay sama aku," ucapnya tegas. Setelah Alea mengatakan itu semua, laki-laki di hadapannya dengan rambut yang belum sepenuhnya kering itu hanya bisa diam. Alea cukup mengerti bahwa semua yang dikatakannya benar.

Ia akhirnya berdiri, merasa tidak ada yang dapat ia harapkan lagi dari Reya. "Ya udah kalau gitu. Makasih ya udah mau selalu aku repotin. Aku minta maaf kalau selalu bikin Kakak kesal dan nggak pernah bahagia. Aku masuk dulu. Kalau masih mau di sini enggak apa-apa. Anggap aja rumah sendiri..."

Alea berjalan ke kamarnya lalu menguncinya. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur sambil menghela napas pelan. Gadis itu berulang kali memberikan kepercayaan kepada dirinya sendiri, bahwa dengan ada atau tidaknya Reya, dia masih bisa bertahan hidup untuk membanggakan kedua orang tuanya meskipun ia tidak dapat melakukan itu semasa Ayah dan Ibunya masih hidup. Ia yakin bisa melewati masa-masa tersulit ini sendirian. Walau ia pasti akan merindukan masa-masa saat ia dapat melakukan semuanya bersama Reya.

Sementara Reya menatap kepergian Alea sembari mengacak rambutnya pelan. Ia merasa bodoh karena membuat Alea merasa disia-siakan. Ia merasa bodoh karena tidak dapat memberikan jawaban yang Alea inginkan, namun memang perkataan Alea tidak sepenuhnya salah. Dia memang belum sepenuhnya selesai dengan Dinda.

Reya sadar, seharusnya dia tidak melakukan itu. Tetapi ia juga menyayangi Alea lebih dari perasaan seorang kakak kepada adiknya. Ia merasa lebih saat bersama Alea. Namun, entah kenapa ia juga tidak dapat meninggalkan Dinda begitu saja dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

Jika ditanya siapa orang paling egois di dunia? Reya akan menjawab dirinya sendiri. Dan jika ditanya siapa orang yang patut disalahkan dalam hal ini? Itu adalah dirinya.

_____

Gimana part iniii?

Dear Alea...

Dear Reya...

19 Desember 2021

Alea & ReyaWhere stories live. Discover now