empat puluh lima

77 8 5
                                    

EMPAT PULUH LIMA – LELAH
           
"Sorry ya ... tadi gue ke rumah Dinda..." gumam Reya.
           
Alea menatap Reya sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menutupi matanya yang kini tengah berkaca-kaca. Ia bahkan tidak berniat menyalakan lilin yang sudah tertancap di kuenya.
           
Alea menghela napas pelan. "Dinda kenapa lagi?" tanyanya.
           
"Traumanya kambuh lagi, dan dia baru tenang, makanya gue baru bisa ke sini."
           
"Dia ada perawat?" tanya Alea pelan, masih belum mau menatap Reya.
           
Reya mengangguk.
           
"Kenapa bukan perawatnya yang jagain? Kak Reya nggak bisa ke sini sebentar aja? Aku nggak minta lama-lama kok, kalau Kak Reya buru-buru, makan aja sepuluh menit juga enggak apa-apa. Aku udah siapin ini semua dari siang, Kak. Aku bikin semuanya sendiri, aku bahkan dekor taman ini juga. Kak Reya nggak bisa ya prioritasin aku sekali aja?" tanya Alea dengan mata yang sudah berkaca-kaca menahan sesak.
           
"Dia nggak mau kalau bukan gue yang jagain..."
           
"Terus kenapa Kak Reya sama Dinda nggak tinggal satu rumah aja? Biar bisa dijagain setiap saat," gumam Alea sarkas.
           
"Ya..."
           
"Aku ulang tahun, Kak. Cuma satu kali setahun, susah banget ya luangin waktu, sepuluh menit aja aku udah senang kok, Kak. Bahkan saat aku baru ke luar dari rumah sakit, Kak Reya masih sempat jengukin Dinda. Segitu nggak berartinya ya aku di mata Kakak? Atau emang Kakak pacaran sama aku cuma karena kasihan aja ya?" tanya Alea. Ia bahkan sudah tidak mau menyebut dirinya 'Aya' di depan Reya.
           
"Ya, maksud gue nggak gitu..."
           
"Kak Reya tahu nggak kalau aku setiap malam juga ngerasain trauma? Kak Reya nggak peduli, kan?"
           
"Maaf..."
           
"Maaf doang nggak akan bisa ngerubah semuanya, Kak..."
           
Reya menarik tangan Alea lalu menggenggamnya. "Ya, gue janji nggak akan kayak gini lagi..."
           
Alea menarik tangannya menjauh. Gadis itu menyeka air matanya lalu menarik napas panjang. "Mending kita udahin sampai di sini aja ya, Kak. Aku capek kalau cuma jadi bayang-bayang di kepala Kak Reya, sementara yang ada di hati Kak Reya cuma Dinda. Aku juga nggak pernah bisa bikin Kak Reya sebahagia kalau Kakak lagi sama Dinda kan?"

"Aku tahu kok Dinda depresi, tapi bukan berarti Kak Reya bisa ngorbanin aku gitu aja karena trauma aku nggak kelihatan. Jangan mulai hubungan baru kalau belum selesai sama masa lalu, Kak," lanjutnya tanpa memberi Reya kesempatan untuk menjawab.
           
Alea berdiri lalu menatap Reya lagi. "Aku tidur dulu. Kalau mau pulang langsung pulang aja," gadis itu mengambil kotak hadiah dari Reya, "makasih kadonya..."
           
Reya menatap Alea yang pergi meninggalkannya dengan tatapan nanar. Laki-laki itu menghela napas pelan. Ia tahu kali ini ia sudah kelewatan. Padahal banyak sekali yang ingin ia sampaikan pada gadis itu di ulang tahunnya yang ke tujuh belas.

Reya mengacak rambutnya frustrasi. Bahkan sekarang gadis itu meminta untuk menyudahi hubungan mereka di hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya.

"Happy birthday, Aya..." gumam Reya pelan.

...
           
Alea masih setia berdiam diri di kamarnya padahal ia sudah bangun sejak beberapa jam yang lalu. Ia juga tidak melakukan apapun selain melamun.
           
Alea melihat kotak kado yang diberikan Reya tadi malam. Ia akhirnya berdiri lalu duduk di meja dan membuka kado dari Reya. Gadis itu mengambil bucket hat berbentuk stoberi yang dirajut dari dalam kotak itu. Alea tersenyum tipis, mencobanya sebentar lalu kembali memasukkannya ke dalam kotak.

Karena perutnya mulai meminta untuk diisi, akhirnya Alea memaksakan diri untuk ke luar dari kamarnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Karena perutnya mulai meminta untuk diisi, akhirnya Alea memaksakan diri untuk ke luar dari kamarnya.
           
Alea sedikit terkejut ketika melihat Reya tertidur di sofa.
           
Alea mendekati Reya lalu mengguncang tubuhnya pelan. "Kak..."
           
Reya mengerjapkan mata lalu langsung terduduk ketika melihat Alea. "Ya..."
           
"Ngapain masih di sini?"
           
"Gue nungguin lo."
           
"Ngapain nungguin aku? Kita kan udah nggak ada hubungan apa-apa."
           
Reya menggeleng. "Ya, please kasih gue kesempatan..."
           
Alea menghela napas lalu menggeleng pelan. Ia memalingkan wajah, tak mau menatap Reya. "Enggak, Kak. Aku nggak mau mengharapkan orang yang bahkan belum selesai sama masa lalunya. Aku udah kasih Kak Reya kesempatan berkali-kali, tapi akhirnya selalu gini. Aku capek..." gumamnya sambil berjalan ke dapur. Ia terdiam melihat kue ulang tahunnya yang masih utuh.
           
"Kita makan kuenya yuk?" ajak Reya yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Alea.
           
Alea terlonjak kaget lalu akhirnya mengangguk. "Tapi habis ini Kak Reya pulang."
           
"Oke..."
           
Alea membawa kue ulang tahunnya ke meja makan lalu mencabut lilin di atasnya.
           
"Kenapa dicabut? Nggak mau dinyalain dulu?" tanya Reya.
           
Alea menggeleng. "Nggak perlu. Aku udah tiup lilin kemarin."
           
"Nggak mau tiup lilin bareng gue?" tanya Reya lagi.
           
"Ngapain? Kan aku yang ulang tahun. Udah lewat juga. Kalo Kak Reya mau tiup lilin, ya tiup aja sendiri."
           
Reya akhirnya mengalah lalu membantu Alea memotong kue. Setelah itu mereka memakan kue dalam diam.

...
           
"Gimana kemarin dinner sama Kak Reyanya, Le?" tanya Lila ketika Alea baru saja meletakkan tasnya.
           
Alea menggeleng. Tatapannya berubah sendu. "Nggak ada, gue dinner bareng Holly..."
           
Varsha yang sedang belajar langsung menutup bukunya dan menatap Alea bingung. "Kak Reya nggak datang?"
           
"Datang kok..."
           
"Terus?"
           
"Dia telat. Kak Reya baru datang jam sepuluh lewat karena Dinda traumanya kambuh."
           
Ketiga sahabatnya terdiam mendengar penjelasan Alea.
           
"Udah lah, nggak usah dibahas. Gue mau belajar," gumam Alea lalu membuka bukunya untuk mempersiapkan ujian kenaikan kelas yang dimulai hari ini karena dia tidak sempat belajar kemarin.

...
           
Alea berjalan menuju gerbang. Ia menghela napas melihat Reya duduk di atas vespa hitamnya di depan gerbang sekolah. Mau tak mau gadis itu berjalan mendekatinya.
           
"Kakak ngapain ke sini?"
           
"Jemput lo."
           
"Nggak perlu. Mulai sekarang Kak Reya nggak usah repot-repot luangin waktu Kakak buat perhatiin aku karena kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi Kak Reya juga bisa kasih waktu Kakak sepenuhnya buat urusin Dinda." Setelah mengucapkan itu, Alea berjalan menjauh lalu menghentikan taksi.
           
"Aya!"
           
Alea menoleh sekilas sebelum akhirnya masuk ke dalam taksi.
           
Alea menengadahkan kepalanya agar air matanya tak tumpah. Ia sebenarnya masih berharap hubungannya baik-baik saja dengan Reya. Namun ia juga tidak dapat memaksakan keinginannya jika Reya memang masih belum bisa melepaskan Dinda. Jika ia memaksakan untuk terus bersama Reya, maka ia merasa akan selalu menjadi bayang-bayang dalam diri Reya, sementara Dinda lah yang ada di hatinya. Percuma ia bisa selalu bersama Reya jika hati laki-laki itu sebenarnya bukan untuknya. Alea tidak mau menjadi orang yang egois.
           
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Alea sebenarnya masih sangat menyayangi Reya dan berharap laki-laki itu dapat menemaninya di masa-masa sulitnya seperti sekarang. Ia masih ingin berbagi cerita dengan laki-laki itu tiap mengalami kesulitan atau mengalami hal yang menyenangkan setiap hari. Tapi ia cukup tahu diri untuk tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain lagi dan mulai belajar mandiri.

_____

Gimana part iniii??

Dear Alea...

Dear Reya...

15 Desember 2021

Alea & ReyaWhere stories live. Discover now