[1] Ke-'jadian'

40.1K 3.3K 89
                                    

"Kamu mau menghabiskan hidup bersama orang yang nggak kamu cintai?"

"Cinta nggak cinta, perjodohan ini akan terus berlanjut."

"Sebenci apa pun kamu sama aku, di sini kita sama-sama enggak punya kemampuan menolak."

"Nggak mampu menolak atau kamu memang mengharapkan perjodohan ini?"

"Rasa percaya dirimu yang terlalu tinggi itu kadang menjijikkan sekali."

"Kalau jijik, kenapa ngotot mau menerima perjodohan ini? Kamu sebegitunya tidak percaya diri sampai mau dijodoh-jodohkan?"

"Nggak percaya diri kamu bilang?"

"Oh, aku tahu. Pasti nggak ada laki-laki yang mau sama kamu sampai-sampai kamu frustrasi, capek ditanya kapan nikah, takut dibilang perawan tua, akhirnya kamu pilih dijodohkan saja. Begitu?"

"Kamu kelewat—"


CEKLEK!


Suara pertengkaran maha hebat itu terhenti ketika aku membuka pintu. Padahal, aku sudah berusaha membukanya perlahan. Setengah mati tadi aku berharap bahwa pertengkaran dua orang itu akan membuat mereka tidak menyadari keberadaanku yang tengah mengendap dan berusaha menyelinap masuk tanpa diketahui. Namun, siapa sangka mereka kini malah saling diam?

Aku terjebak di rooftop kantor. Pintu masuknya terkunci. Satu-satunya jalan kembali adalah lewat tangga di dekat ruangan CEO. Gedung kantorku terdiri dari lima lantai. Lantai kelima hanya dibangun setengahnya untuk ruangan CEO, sedangkan sisanya dibiarkan kosong begitu saja. Karena kurang estetik dipandang mata jika dilihat dari ruangan CEO, maka dibuatlah pagar berpintu yang tadi aku buka. Sebenarnya, pintu itu tidak langsung menghubungkan dengan ruang kerja CEO. Masih ada taman kecil dengan sofa-sofa yang nyaman digunakan oleh sang CEO untuk ngopi sambil nyemil nyali anak buahnya.

Dua orang yang tadi bersitegang itu masih berdiri saling berhadapan di depan pintu antara taman dan ruang kerja. Tidak satu pun menoleh padaku. Aku berharap itu tanda bahwa aku masih diberi kesempatan untuk hidup. Jadi aku kembali menutup pintu yang baru sejengkal terbuka. Mungkin lebih baik diam di rooftop daripada menyelinap ruang CEO bergelar Dewa Angkara Murka itu. Toh, ini jam makan siang. Pertengkaran hebat pasti menguras banyak energi. Meski dia Dewa Angkara Murka, dia tetap butuh makan.

Sial luar biasa sialan, derit pintu yang kutarik berbunyi lebih keras.

Aku memejamkan mata sambil menundukkan kepala, tidak mampu bersitatap dengan dua pasang mata yang kini tertuju padaku. Derap langkah yang terdengar kemudian turut menabuh detak jantungku.

"Kamu ngapain di sini?"

Satu di antara dua orang itu, kenapa harus Dewa Angkara Murka yang menghampiriku?

"Saya tanya sama kamu. Kenapa kamu di sini?"

Bersembunyi. Rooftop kupilih untuk menangis tanpa dilihat siapa pun. Oleh karena itu, aku pilih nekat menerobos pintu ruang CEO alih-alih menelepon seseorang untuk membukakan pintu. Namun, siapa sangka nasibku akan lebih sial dibanding ketahuan menangis oleh teman sekantor?

Aku menggigit bibir. Berpikir Mosha. Berpikir!

Setiap kali diserang kegugupan, aku selalu kehilangan kata-kata.Ketahuan menangis oleh rekan kerja mungkin bukan hal yang baik, tapi ketahuan menangis oleh bos mungkin menjadi pengecualian. Siapa tahu dia memaafkan kelancanganku tadi?

Siapa tahu? Dimaafkan oleh laki-laki ini? Julukannya saja Dewa Angkara Murka. Mana mau dia memaafkan aku.Kemungkinannya terlalu kecil, tapi aku tidak akan tahu tanpa mencoba. Jika tadi aku berharap mataku tidak memerah atau sembab supaya tidak ketahuan orang, sekarang aku sangat berharap bahwa mataku sangat sembab dan wajahku tampak menyedihkan. Aku bahkan memeras air mata dan berharap dia jatuh meski hanya setetes. Setelahnya, aku mengangkat wajah sambil berusaha keras bersuara.

"Maaf, saya—"

Kalimatku terhenti ketika tangan laki-laki itu tiba-tiba menggenggam tanganku. Aku mencoba menariknya, tapi dia malah menggenggamnya lebih erat. Mataku yang terasa berat kebanyakan menangis aku paksa melebar.

Aku baru akan membuka mulut memintanya melepaskan tanganku secara verbal, tapi langsung bungkam karena perlakuan Dewa Angkara Murka selanjutnya. Tangannya menyeka air mataku!

Bukannya berhenti menangis, aku malah menangis makin keras. Tangis ketakutan. Tanganku dingin. Bibirku gemetar saat mencoba memohon ampun atas kelancanganku yang membuatnya begini. Aku memohon pada diriku sendiri untuk bisa mengontrol kegugupan dan bisa bersuara kali ini. "Pak, saya—"

"Ssshh." Dia meletakkan telunjuk di bibir lalu merundukkan tubuhnya yang tinggi hingga jarak wajah kami semakin dekat. Wajahnya menatapku dengan raut paling simpati, tapi aku malah merasa sebentar lagi pasti mati. Tangisku makin menjadi. "Hei. Sudah. Sudah."

Tidak cukup dengan ber-ssshh-sssshh memintaku diam, kini dia malah menepuk-nepuk bahuku yang makin terguncang ketakutan.

"Ba-pak, membuat saya... t-takut."

"Jangan takut. Jangan takut. Semua baik-baik saja."

Sayangnya, perlakuannya makin menakutkan. Dia melingkarkan satu tangannya ke bahuku lalu menarikku ke sisi tubuhnya. Tidak sampai menempel, tapi aku yakin dari sudut pandang wanita yang sejak tadi masih berdiri kami terlihat sedang berpelukan sekarang. Demi Tuhan, bukan ini yang aku harapkan dari memperlihatkan tangisku tadi!

Suara ketukan heels membuatku semakin panik. "Ada apa ini?"

Aku menggeleng kuat-kuat sambil mendorong bosku sekuat tenaga, tapi Dewa Angkara Murka malah berlagak bagai tugu batu.

Dewa Angkara Murka membisikkan kata supaya aku tenang. Bukannya tenang, aku malah histeris tak karuan. Ayo bicara Mosha! Bicara!

"Ampun, Pak! Ma-afff!" pintaku di antara tangis. "Saya...s-saya nggak dengar apa-apa."

"Hei, diam dulu." Kali ini dia membuat gerakan tangan yang benar-benar membuatku menempel ke lipatan tangan kirinya. "It's okay. Kamu dengar pun nggak masalah. Saya justru senang. Semua sudah selesai."

Gimana? Apa?

"Apa kamu selalu begini ke anak buah kamu?" tanya wanita-atau-pacar-atau-partner-atau-siapanya Dewa Angkara Murka itu.

"Pak, lepas," kataku lebih tegas, tapi tangannya tidak kalah lebih keras menahanku. Kosakata ayo, keluarlah dari mulut. Tenang dan berpikir, Mosha. Kuasai diri, jangan gugup. "Pak ini di kantor. Nanti—"

"Saya nggak peduli lagi ini kantor atau bukan." Dewa Angkara Murka menatapku dengan sorot paling teduh, tapi tetap tampak mengerikan di mataku. "Saya nggak mau backstreetlagi dan bikin kamu nangis kayak sekarang. Saya mau semua orang tahu kalau kita adalah pasangan."

Aku di mana? Siapa aku? Mereka kenapa? Apa aku mengalami demensia, amnesia, atau apa?

"Apa maksud kamu?" wanita-atau-pacar-atau-partner-atau-siapanya Dewa Angkara Murka itu kini berdiri selangkah dari kami. Dua orang itu, apakah mereka malaikat maut yang baru saja merenggut nyawaku dan sekarang sedang berebut siapa yang paling berhak membawaku ke alam selanjutnya? Kenapa suasana di sini mengerikan sekali?

"Seperti yang kamu lihat, Livy." Tatapan Dewa Angkara Murka beralih dariku kepada wanita itu. "Saya sudah punya pasangan. Itulah kenapa kita nggak bisa melanjutkan perjodohan." Lalu, tatapannya kembali padaku. "Bukan begitu, Sayang?"

Dewa Angkara Murka bicara begitu padaku? Aku mengerjap, tapi tidak ada yang berubah. Kalau ini bukan mimpi, aku pasti benar-benar sudah mati.

oOo


Aya's note

GIMANA CHAPTER 1?


Dewa Angkara Murka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang