[32] Kukira Mereda, Ternyata Makin Menggila

14K 2.1K 66
                                    

Terima kasih yang udah membantu memilih di chapter sebelumnya.

Yang belum memilih ayo dong, mampir duluan. Masa baca cerita doang, diminta milihin cover saja enggak mau :)

Oia, aku lagi terjebak dalam satu proyek yang bikin kegiatan ngelanjutin Dewa Angkara Murka tersendat-sendat banget nih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oia, aku lagi terjebak dalam satu proyek yang bikin kegiatan ngelanjutin Dewa Angkara Murka tersendat-sendat banget nih. Mohon doanya ya, supaya lekas kelar dan hasilnya bagussss jadi aku lekas update lebih rajin lagi. Huhuhu

Makasih dear 


Love, aya.


oOo


Aku pikir, setelah urusan makananclear, tidak ada lagi gangguan dari calon mertua bohong-bohongan itu. Ternyata aku salah. Weekend-ku kini dibajak oleh Bu Dahlia. Huft... hilang anaknya, ganti emaknya. Cuma, sekarang aku lebih santai menghadapinya. Nothing to lose. Ditolak bodo amat, diterima tinggal nanti diurus alasan putus sama Dewang.

"Mosha, ke salon yuk. Tapi salon langganan kamu saja."

Wah, model serangan apa lagi ini? Salon langgananku mana cocok buat ibu-ibu sosialita macam Bu Dahlia. Aku mencari rekomendasi salon bagus di Google, tapi Bu Dahlia menolak.

"Nggak mau. Pokoknya langganan kamu saja."

Menyerah, akhirnya aku membawa Bu Dahlia di salon langgananku yang super sederhana. Ruangannya saja di rumah, bukan bangunan khusus bisnis persalonan. Aku suka sekali di sini justru karena feel like home-nya, cuma sosialita kayak Bu Dahlia mana suka? Berhubung dia ngeyel, ya sudah terserah saja.

Aku cuma massage dan lulur. Bu Dahlia entah memilih perawatan apa saja, yang jelas begitu aku selesai massage, rambutnya sudah ganti potongan, di-blow, dan dia semringah sekali. Keceriaan itu membuatku bingung kali ini serangan jenis apa yang akan aku terima. Ibarat perang, aku sudah kalah menduga-duga strategi menyerang apa yang akan dipakai lawan.

Urusan salon selesai, aku diajak cobain restoran steak di kawasan Senopati. Selesai makan steak, aku kira semua urusan selesai, tapi justru babak baru drama baru dimulai.

"Nah, berhubung kamu juga sudah fresh habis dari salon, hari Rabu minggu depan, temani Tante kondangan ya, Mo?"

What? Kondangan? Siapa aku, kenapa harus menemani ibunda Dewa Angkara Murka kondangan? Nggak anaknya, nggak ibunya, hobi banget ngajak kondangan ya.  Okelah aku ini pura-puranya pasangan anaknya, tapi too much kalau diajak kondangan juga. Yang ngajakin ibunya pula, bukan anaknya. Lagian, nyalon hari Minggu, diajak kondangan Rabu pasti sudah lecek lagi. "Saya kan, kerja Tante."

Bu Dahlia tersenyum sambil menepuk lenganku. Dia menarik sesuatu dari kantung jok lalu menyerahkannya padaku. "Rabu itu tanggal merah, Mosha. Berhubung pihak keluarga harus pakai dress code warna lilac, kamu jahitin dulu ya. Di langganan kamu saja yang sudah tahu bentuk dan selera kamu banget."

Dewa Angkara Murka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang