[45] Menghilangnya Kata-kata

14.1K 2.3K 289
                                    

Nggak ada yang mau share dan ngeracun teman-temannya buat baca cerita ini apa?

Udah mau tamat lhoooo.... meski Jang-Uk tak bersama Mudeok :p


oOo


Aku menggeleng keras-keras. "Bukan saya, tapi orang-orang. Kalau nggak percaya, silakan tanya anak-anak procurement. Sikap Bapak yang over lebay pada saya di kantor bikin mereka percaya Bapak cinta mati sama saya." Aku merinding.

"Kalau kamu?" Dewang

"Kalau saya—" kata-kata yang sudah berada di ujung lidahku, tiba-tiba tersumbat untuk diucapkan. "Sandiwara kita semakin menyakinkan, semakin banyak yang percaya, dan saya takut makin banyak dosa."

"Bukan takut jatuh cinta?" Dewang mengerling.

Aku berjengit dan dia tertawa keras. Orang ini kepercayaan dirinya tinggi sekali.

"Saya terus teringat kata-kata kamu soal peluang e-commerce produk kreatif dan here I am." Dewang merentangkan tangan, menunjukkan siapa dirinya sekarang. Kata-kata yang cuma selewat kuucapkan menancap dalam dan direalisasikannya.

"Bapak harus berterima kasih ke saya dong." Kubalas rasa pongahnya.

Dewang mengangguk yakin. "Saya selalu ingin berterima kasih, tapi saya bahkan nggak ingat wajah atau nama kamu. Sampai setahun lalu, di depan ruang rapat selalu muncul cewek yang bukan tim marketing, tapi hobi nungguin rapat. Nungguin pacar lebih tepat kayaknya. Suka bantu bagi-bagiin jatah lunch box meeting, bantu merapikan file yang saya minta buru-buru, bantu jilid proposal, dan ketika pacarnya memanggil namanya, saya kembali teringat nama di atas ID card yang saya pungut enam tahun lalu."

Dewang diam. Aku menunggu.

"Sayangnya, saya jadi kepikiran, apa kamu masih ingat? Kalau ingat, kenapa kamu nggak nyapa saya. Lagi pula itu cuma obrolan sambil lalu. Mungkin kamu bahkan sudah nggak ingat."

Aku menggigit bibir. Sayangnya, dugaan Dewang benar. Aku lupa. Itu cuma obrolan sambil lalu.

"Jadi saya cuma bisa menyimpan rasa terima kasih saya." Dewang menarik napas dan mengembuskannya panjang. "Sampai video rekaman itu muncul...."

Aku menoleh dan melihat wajah Dewang berubah datar.

"Ternyata saya masih nggak bisa seenaknya jadi hero."

"Kenapa nggak bisa?" Nadaku naik. Seandainya aku tahu perselingkuhan itu sejak lama....

"Karena orang jatuh cinta itu bebal, Mosha." Dia membalas tatapanku tegas. Untungnya, tatapan itu cepat beralih karena Dewang mengemudi. "Dikasih tahu apa pun, kalau matanya sudah dibutakan cinta, semua jadi percuma."

Mirip omongan Kyle. Aku sudah ditunjukkan sedemikian rupa, Kyle sudah berusaha memutuskan hubungan dengan beragam cara, tapi aku bebal tiada tara.

"Saya cuma bisa memantau kamu dari jauh. Namun, melihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa kamu menangis karena dikhianati sedemikian rupa membuat saya marah, Mosha." Dewang mencengkeram setir, rahangnya mengatup, dan matanya menatap jalanan lurus-lurus. "Saya bertekat membantu kamu keluar dan nggak terjebak lagi dengan dia apa pun caranya."

Tiba-tiba, jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Rasa hangat mengaliri wajahku.

"Saya ajak kamu jalan, ajak ikuti kamu nonton konser, temani kamu makan siang, semua demi nggak ingat lagi sama mantan kamu. Saya bisa menolong kamu dengan tindakan, tapi urusan hati, cuma kamu yang bisa dan harus menyelesaikannya sendiri."

Dewa Angkara Murka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang