[30] Hari-hari Ngenes Mosha

13.1K 1.9K 109
                                    

PENGIN KENALAN DONG, SAMA PEMBACA BARU YANG MAMPIR KE AKUNKU GARA-GARA PAK DEWANG :*


Chapter ini agak pendek, tapi greget. hahhaha

Happy reading!


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku kira, ujianku hari ini berakhir setelah bisa keluar dari ruangan Dewang. Namun, waktu aku kembali ke ruangan, di sana sudah bertengger manis seseorang yang membuatku mengalami gangguan kecemasan belakangan; Ibu Dahlia.

Kok bisa dia ada di sana?

Jantungku tiba-tiba memacu dengan cepat. Kakiku kehilangan tenaga. Otakku berputar menawarkan seribu satu skenario dan pilihanku jatuh kepada 'kabur'. Maaf Ibu Dahlia, tapi muncul tiba-tiba dan aku tidak punya persiapan apa-apa begini bisa membuatku gugup, gagap, dan gila.

Willy yang mejanya paling dekat pintu keluar tiba-tiba menoleh padaku. "Nah, ini Mosha."

Belum sempat aku memberi kode untuk diam, tapi dia sudah koar-koar.

"Mo, ditungguin ibunya Pak Dewang dari tadi tuh." Ya Tuhan, kenapa Dadan ikut-ikutan.

Bagaimana aku bisa kabur kalau Bu Dahlia lantas berdiri dari kursiku sambil melambai-lambai. Mbak Afni yang menemaninya selagi menunggu ikut melambai juga. Dengan langkah lemas, aku menuju ke mejaku. Mbak Afni pamit ke mejanya berhubung aku sudah sampai.

Tuhan, aku mohon jangan ada keributan memalukan di ruangan ini. Aku melewati meja Kinoy dan mendelik padanya. Dia menunjuk-nunjuk ponsel sambil memberi kode bahwa aku tidak mengangkat telepon. Mana sempat mengangkat telepon kalau sejak tadi aku sibuk bersitegang dengan Dewang?

"Mosha, apa kabar?" sapa Bu Dahlia dengan keramahan yang sama seperti ditunjukkan dulu. Bagus deh, setidaknya ibu ini tahu tempat. Kalau mau mengomeliku, nanti pas berdua saja.

"Baik, Tante." Jelas ini bohong, kenyataannya aku tidak baik-baik saja. "Tante, apa kabar?"

"Baik dong, kalau nggak baik nggak mungkin belain ke sini buat ketemu kamu." Bu Dahlia menarik tanganku mendekat. "Kamu kaget ya, Tante tiba-tiba di sini?"

Kebaca banget ya?

"Maaf Tante muncul di sini tiba-tiba. Habisnya kamu ditelepon nggak angkat."

Ah, lagi aku tidak mengangkat telepon. "Maaf Tante, tadi lagi di ruangannya Pak Dewang."

Senyum Bu Dahlia langsung lebar. "Profesional ya, kalau di kantor tetap formal pakai Pak."

Yah, enggak di kantor doang sih. Di mana-mana juga tetap pakai Pak. Aku masih berdiri dengan sambil memilin jari di depan Bu Dahlia—soalnya kursiku dipakai dia. "Eng... Tante nyari saya... ada... apa?"

Dewa Angkara Murka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang