[21] Ibunda Baginda Dewa Angkara Murka

15.4K 2K 89
                                    

Share dong, pengalaman kamu ketemu ortunya pacar...

Kenapa ya, format tulisan di WP suka berantakan sekarang :(

<3 aya


oOo

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

oOo

Pencahayaan redup dan suasana yang tenang menyambut kami begitu masuk ke Angus House. Satu-satunya ketidaktenangan berasal dari diriku. Satu-satunya musik yang terdengar di telingaku adalah detak jantung kebat-kebit melompat tak beraturan. Daripada lampu temaram, kenapa enggak padam sekalian supaya nggak ketahuan kalau aku mendadak hilang.

Aku ingin jalan pelan-pelan, mengulur waktu, tapi Dewang jalan cepat banget. Tanganku dingin dan semakin dingin. Jantungku kebat-kebit kayak lagi berdiri di dekat speakerorang hajatan. Refleks saja, aku memegangi pinggang kemeja Dewang supaya jalannya pelan dan supaya aku ada pegangan kalau ambruk di tengah jalan. Lihat saja, kakiku sudah kayak jeli. Namun, Dewang malah menangkap tanganku dan menggenggamnya. Ini mah, lompatan jantungku jadi dua kali lipat dan kakiku malah nggak menjejak di tanah. Grogiku meningkat berlipat-lipat. Kenapa sih, nggak akting yang biasa saja gitu?

"Tadi saya pesan kobe steak-nya medium sesuai rekomendasi Anda, kenapa dikasihnya well done?" Seorang wanita berambut sebahu dengan jepit keperakan kelap-kelip sedang bicara dengan pramusaji waktu kami datang. Pastilah itu Bu Dahlia, ibu Dewang. Aku belum melihat wajahnya karena kami berdiri di belakangnya.

"Itu medium, Bu. Sesuai pesanan."

Bu Dahlia mengiris steak lalu menunjukkannya pada pelayan. "Ini yang namanya medium? Nggak ada tekstur kemerahannya? Terus sausnya mana? Saya minta extra, tapi nggak datang juga."

Pramusaji itu lantas minta maaf, tapi Bu Dahlia menolak waktu piringnya diambil.

Hmm... masalah pesanan saja bisa seribet itu. Apalagi calon anaknya yang sama sekali tidak qualified begini. Makin menjadi-jadi gemetarnya badanku. Padahal baru dari belakang Bu Dahlia, belum saja lihat wajahnya.

Aku menoleh ke Dewang dan mengirim kernyitan mata padanya. Maksudku, itu tanda bahwa mood ibunya tidak baik dan aku takut. Lah, Dewang malah nggak nyambung mengulurkan tangan dan merapikan rambutku. Aku berdeham supaya Dewang berhenti membuatku salting, tapi ibunya yang malah menoleh.

Mati aku! Dalam hati aku menghitung satu-dua-tiga sebelum menatap Bu Dahlia. Seiring hitungan itu, dentam jantungku sudah jungkir-balik-kayang-terjengkang.

"Kalian sudah datang?" Bu Dahlia menatap kami. Jika aku tidak tahu bahwa anaknya berusia tiga puluh tiga tahun, aku pasti mengira Ibu Dahlia baru berusia lima puluh. Tidak kurang, tidak lebih. Namun, rasanya itu tidak mungkin.

Ibunda Dewang terlihat muda, segar, rambutnya hanya disisir rapi dengan jepit keperakan kelap-kelip yang aku lihat dari belakang tadi. Aku kira, dia akan menggunakan riasan serba tegas seperti alis hitam dan bibir merah. Prediksiku salah. Tarikan alisnya tipis hingga terlihat natural. Bedaknya tidak tebal bahkan aku bisa melihat kerut-kerut halus di wajahnya. Lipstik yang dipilih hanya sedikit kemerahan sehingga tampak segar, alih-alih menor.

Dewa Angkara Murka (END)Where stories live. Discover now