[12] Tersesat di Pikiranmu

15.3K 2.2K 43
                                    

Gue capek banget, tapi juga happy banget. Finally, jungkir balik melawan gumoh dan nangis-nangis merasa nggak mampu ini sampai di next stepnya. Semoga kalian juga berhasil melewati ujian buat naik ke level berikutnya.
Enjoy apa pun yg kalian suka dan bisa!

Love aya

oOo

Dewang langsung mengantarku pulang. Aku juga enggak minat ke acara lagi dengan mata bengkak. Ngomong-ngomong, kalau yang menginisiasi ide kabur bos—tapi modelan Dewang yang nggak punya perikepegawaian, gajiku nggak akan dipotong, kan?

Baru satu jam sampai di rumah, dari jendela kamarku di lantai dua, aku melihat mobilku berhenti di luar gerbang. Kok bisa? Keningku berkerut tidak habis pikir. Kunciku kan... aku mengorek tas.

Kok nggak ada?! Apa tadi terjatuh di mobil Dewang terus dia repot-repot ngambil?

Aku bergegas menuruni tangga bersiap keluar rumah. Dari Dewang.

"Saya lupa bilang, mobil kamu biar diurus Alan. Nggak usah balik ke acara."

Langkahku membuka pintu utama rumah langsung terhenti. "Lho, Pak, tapi...mobil saya sudah di depan rumah."

"Di depan rumah gimana? Kuncinya kamu kasih ke teman kamu tadi?"

Nggak mungkin. Tadi aku mau ke mobil untuk menangis tahu-tahu Dewang nongol. "Saya...belum tahu. Saya telepon nanti."

Hati-hati aku membuka gerbang dan mengintip keluar. Jantungku nyaris hilang, tahu bahwa Kyle yang berada di balik kemudi. Kok bisa di dia? Aku tidak ingin bertemu dengannya, tapi apa iya mobilku diikhlaskan saja?

Aku menarik napas, lantas keluar gerbang. Kyle tampaknya tidak langsung menyadari kedatanganku. Dari luar mobil, Kyle tampak menatap ke kursi di sebelahnya seolah dia sedang memandang seseorang di sana. Akhirnya aku mengetuk jendela di sebelahnya. Kyle terlonjak kaget dan langsung menoleh.

"Padahal gue belum nelepon," katanya sambil menurunkan kaca mobil. Dia mengulas senyum, kaku.

"Nggak bakal bisa. Udah gue blokir kontak lo." Padahal belum. Nggak kepikiran juga. Buat apa? Toh dia nggak pernah menghubungi.

"Oh ya?"

"Kenapa lo bawa mobil gue?"

Kyle meringis. "Kebiasaan lama lo, kalau pegang kunci suka lupa taruh di mana. Tadi ketinggalan di stan pas lo ambil minum."

Dia masih hafal kebiasaanku? Apa aku harus tersanjung? Bukan. Itu semua karena lima tahun terlalu cukup untuk menghafal kebiasaan satu sama lain. "Kenapa nggak dibalikin?"

"Gue mau balikin, tapi lo keburu pergi sama Pak Dewang."

Eh?

Kyle menatap ke bawah. Entah apa yang dilihatnya.

"O-oh." Aku menggerak-gerakkan kepala dengan kaku.

Jari Kyle mengetuk-ngetuk kemudi. "Kenapa lo bisa pergi sama dia?"

Aku berjengit. "Urusan lo nanya apa?"

Kyle mengangkat wajahnya. Bibirnya akan bicara tapi tampak ragu. Yang tampak sekarang adalah senyum yang dipaksakan. "Gue nggak tahu lo dekat sama Pak Dewang. Tadi diantar balik dia juga?"

"Maksudnya apa?"

Bahu Kyle naik.

"Urusan kerjaanlah." Kerja sama dengan Dewang termasuk kerjaan, kan? Mandatorinya dari bos juga.

"Oh, kerjaan." Kyle mangut-mangut, tapi dia tampak tidak yakin.

"Lo pikir hadiah-hadiah ulang tahun acara tadi yang urus siapa?" Bukan gue sih, tapi aku tanya bukan mengakui sesuatu yang tidak kulakukan. Lho, kenapa aku kudu repot-repot menjelaskan ke Kyle. Biarkan saja, bukannya setelah ini akan ada skenario besar yang akan ditampilkan pada pernikahan Kyle?"Turun. Balikin mobilnya. Keburu lo pakai muter-muter sama calon lo nanti."

Kyle berdecak. Tampangnya langsung keruh. Dia langsung turun dari mobil. "Gue emang bajingan, Mo. Tapi bisa tolong kurang-kurangin ngatain cewek gue?"

Aku melipat tangan, menyimpan rasa pahit melihat seseorang yang lima tahun aku puja berbalik menyerang bahkan membela perempuan lain. Padahal jelas-jelas perempuan itu selingkuhannya saat itu. Apa Kyle tidak merasa bersalah? Kalau pun aku marah, bukankah aku berhak?

Kyle mengangsurkan kunci padaku.

"Thanks. Tunggu di sini biar gue pesankan taksi."

"Nggak usah. Gue bisa pesan ojol sendiri. Lebih cepat. Mau fitting soalnya."

Too much information. "Nggak bakal bisa pakai ojol."

Kyle menyipit. Bingung. "Kenapa?"

Aku berbalik ke bagian belakang mobil dan membuka bagasi. Kyle mengekor.

"Karena lo harus bawa barang-barang itu. Gue nggak nerima barang-barang gue yang udah dibekasin orang. Jadi gue titip kasih cewek lo saja."

"Mo, jangan gini dong—"

"Jangan gini gimana?" Aku menyipitkan mata, mengunci air mata jangan sampai pecah di depan laki-laki tak tahu diri ini. "Sadar nggak lo lancang dan nggak tahu diri? Bayangin dong, barang gue, dan lo kasih ke selingkuhan lo? Dan cewek lo mau? Gue nggak habis pikir...." Berapa kali pun bahasan ini aku ulang, tidak akan cukup menjelaskan kesintingan apa yang ada di pikiran mereka.

Kyle menatap sepatunya. Aku menatap langit, menahan air mata.

Aku ingat berulang kali menolak ajakan Kyle putus. Setiap kali ajakan itu bergulir dari bibirnya, aku akan menyalahkan diri sendiri lalu mati-matian berusaha memperbaiki diri. Bucin mampus kalau kata Kinoy. Aku cuma nggak rela aja putus begitu saja setelah lima tahun kita sama-sama. Takut kehilangan, takut nggak bisa ngilangin kebiasaan-kebiasaan yang kami lakukan sama-sama, takut nggak ada lagi yang nemenin pulang-pergi kantor, takut nggak ada lagi yang diajakin makan siang bareng, takut nggak ada yang nemenin sleep call, takut ditanya sama keluarga kenapa Kyle nggak datang lagi, takut, takut, dan takut.

Sampai suatu ketika Kyle bilang, "Kenapa kamu bertahan sama aku padahal aku nggak bisa menjanjikan apa-apa?"

"Karena aku mau kamu bahagia."

"Kamu cinta sama aku atau kasihan sama aku sampai-sampai kamu merasa aku nggak bahagia tanpa kamu?"

Mataku memicing. Nggak sekali pun aku berpikir ke sana. Saat kita mencintai seseorang, kita harus menemaninya dalam suka maupun duka. Bukannya gitu konsepnya?

"Kebahagiaanku nggak bergantung pada orang lain. Aku bisa memastikan kebahagiaanku sendiri."

Aku merasa baru saja dijejali kulit durian. Kyle benar, dia bisa 'berbahagia' dengan caranya sendiri. Tetap bertahan di titik terendahnya adalah pilihanku, dia tidak memintanya. Aku yang sok inisiatif berpikir bahwa dia butuh seseorang. Ternyata dia nggak butuh ya?

"Kalau kamu mau aku lebih bahagia, lepasin aku."

Seperih apa pun perasaanku ketika dia bilang begitu, bibirku tersenyum. "Kedengarannya kayak aku penghalang kebahagiaan kamu ya?"

Dia menggeleng. "Aku bahagia dan berterima kasih menghabiskan lima tahun ini sama kamu. Sayangnya, waktu lima tahun ini kita jalan di tempat. Aku nggak merasa bahwa komitmen dalam pernikahan adalah sesuatu yang bisa aku kasih buat bikin kamu bahagia."

"Kamu ragu sama aku?"

"Aku meragukan diriku sendiri."

Aku menatap Kyle dengan mata yang kutahan jangan sampai berkaca-kaca. Kyle menolak tatapanku. Dia memandang ke arah lain. "Bikin kamu menunggu lebih lama jadi beban yang semakin berat, nggak bikin aku bahagia, justru takut kamu kecewa."

Lama Kyle menatap jalanan sebelum akhirnya menatapku. "Kalau kamu mau aku—kita bahagia, lepaskan aku."

Aku sudah berulang kali menahannya. Aku telah berusaha memperbaiki apa yang aku bisa. Namun, dia berkeras pergi dan kalimat itu yang akhirnya mengakhir hubungan kami tiga bulan lalu di depan rumah ini juga. Kalimat itu bergulir lagi sekarang, di tempat yang sama.

"Lo bilang bakal bahagia kalau kita putus. Apa menyakiti gue bagian dari kebahagiaan itu?" Aku tidak menangis, tapi gigiku gemertak. "Kenapa... lo tega?"

"Menyakiti lo bukan bagian dari kebahagiaan gue, tapi menyakiti lo adalah jalan satu-satunya supaya gue bisa pergi."

Alasan macam apa lagi ini? Aku sampai ingin tertawa saking tidak masuk akalnya. "Terserahlah. Angkut barang-barang itu sekarang juga sebelum bokap gue lihat lo."

oOo

Dewa Angkara Murka (END)Where stories live. Discover now