[20] Sepanjang Jalan Ketakutan

15K 2K 72
                                    

Mosha B aja, kenapa kalian yang menduga-duga  :p

Mulai chapter ini ke bawah adalah chapter baru yang belum pernah diunggah di mana pun ya.


Follo IG @ayawidjaja biar nggak ketinggalan sepal sepil 


¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.


oOo

Dewang tidak mengatakan aku harus apa atau bagaimana saat bertemu ibunya nanti. Benar-benar tidak ada guideline. Bahkan gambaran rupa dan sifatnya saja aku tidak pernah tahu. Aku mau bertanya juga sudah lemas duluan. Pikiranku makin ke sana, makin ke sini.

Ya sudah, biarkan saja. Kemarin di kondangan Kyle, Dewang juga ogah-ogahan diajak bikin skenario yang sempurna. Sekarang kan, urusan dia. Biar dia saja yang improvisasi dan mikirin sendiri. Jago banget dia kalau disuruh mengarang indah. Pasti dulunya kesayangan guru Bahasa Indonesia.

Kurang lebih begitu aku menenangkan diri. Sayangnya, bukan tenang tanganku makin dingin. Sampai-sampai aku menyembunyikan jemari di bawah lipatan kaki. Sepanjang jalan menuju restoran, aku merasa digiring menuju tempat eksekusi.

Mobil Dewang sunyi. Tidak ada musik. Tidak ada percakapan.

Ini bisa nggak sih, ada demo hingga jalanan berhenti sampai besok pagi atau jalanan ditutup dan harus putar balik lewat Anyer atau Panarukan sehingga aku tidak perlu bertemu ibunya Dewa Angkara Murka? Bayangin dong, anaknya saja sehoror ini, apalagi ibunya.

Eh. Ups.

Tiba-tiba Dewang tertawa. Aku yang sejak tadi menatapi jendela di sampingku langsung menoleh. Tidak ada minat bertanya. Energiku habis dilibas kekhawatiran. Kalau dia peka, pasti paham aku ingin tahu apa yang terjadi.

"Kamu gugup ya?"

Aku cuma menatapnya dengan enggan. Lalu buang pandangan lagi supaya nggak kelihatan lagi gugup. Pada dasarnya aku memang bukan sosok yang pemberani. Kalau ngoceh di kepala doang sok lantang dan berani, tapi kalau sudah bertindak di dunia nyata dalam menghadapi situasi konflik—atau sekadar yang berhubungan sama tampil di depan orang lain—aku lebih banyak diam dan menghindar sejauh-jauhnya. Ingat, aku pernah bilang kalau rapat departemen procurement bareng Dewang aku selalu duduk di belakang dan diam seribu bahasa makanya heran kenapa Dewang bisa menyomot aku sebagai mangsa fake-dating-nya?

Dewang melepas tangan kirinya dari setir lalu menunjuk kakiku yang bergerak mengentak-entak tanpa sadar karena gugup. Dih, ngeselin. Lagi nyetir sempat-sempatnya lihat. Aku langsung menghentikan gerakan kakiku. Oh, biar pun gampang gugup—dan cenderung gampang takut—aku jelas gengsi kalau ketahuan orang begitu.

"Nggak," jawabku pendek sambil membuang pandangan ke jendela lagi.

Namun, apa yang aku lihat di luar jendela ambyar waktu Dewang tiba-tiba menarik tangan yang aku sembunyikan di bawah lipatan kaki.

Dewa Angkara Murka (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora