[3] Dewa Penguasa Lantai Lima

24.3K 2.9K 70
                                    

Sumbang pengalaman kalian sama bos ngeselin doooong....

Love, aya

Dewa penguasa lantai lima yang ditakuti itu bernama Dewangkara Maheswara. Namun, seisi kantor sepakat mengganti namanya—diam-diam, tentu saja—menjadi Dewa Angkara Murka. Meski tidak pernah terlibat konflik secara langsung dengan Dewang—dia menolak dipanggil Dewa tanpa 'ng'—dan aku belum lama bergabung dengan Kreativa, tapi sepak terjangnya membuatku hafal di luar kepala. Isu seputar Dewang mengalir deras dari anak-anak Business Development yang meja kerjanya berhadapan langsung dengan ruang rapat. Aku sering numpang di meja mereka saat menunggui mantanku selesai rapat dengan Dewang. Kalau diingat-ingat, dulu kenapa aku konyol sekali mau-maunya menyia-nyiakan jam makan siang demi menunggu mantan?

"Nggak usah diganti juga nama dia udah paling pas," kata Langgam, anak Bussiness Development, yang masih sibuk mengetik revisi proposal untuk ke 5.686.782 kalinya—oke, ini lebay—pada jam makan siang.

"Pas gimana?" Aku mencomot mangga muda dan meringis saat menggigitnya. Namun, semasam-masamnya mangga muda masih lebih masam muka Dewang kalau sampai tahu dia sedang rapat penting, tapi anak buahnya ngacir makan siang—begitu kata orang. Padahal kalau dipikir lagi letak kesalahannya di mana coba? Istirahat makan siang adalah hak karyawan. Bisa-bisanya Dewang melarang-larang anak buahnya, cuma buat nungguin dia rapat, jaga-jaga kalau ada yang perlu difotokopi, kliennya minta kopi, kliennya tanya di mana toilet, dan permintaan sepele lain.

Klien sih, minta sepele, tapi Dewang—seperti namanya, dia memerintah bak dewa yang sekali bertitah harus jadi, "Coba bikin alternatif konsepnya. Bikin dua tiga slidesaja terus presentasi singkat." Itu yang paling sering terjadi kalau ada klien mampir ke kantor. Aku sampai hafal meski penderitaan itu tidak pernah jatuh ke tanganku. Mendegar titah Sang Dewa(ng), aku biasanya cuma jadi saksi mata bagaimana rekan-rekanku pucat pasi dan putar otak memenuhi ekspektasi bos sinting itu.

"Lo nggak tahu Maheswara itu nama lain Dewa Siwa," langgam berbalik dari meja kerjanya. Dia bisa jeda sejenak sementara printernya mencetak revisian.

"Terus?"

Langgam, cowok keturunan Bali itu jelas yang paling paham soal para dewa.

"Dewa Siwa dikenal juga sebagai dewa perusak semesta. Dia meleburkan segala sesuatu yang sudah usang—"

"Kayak ide kamu." Suara itu membuat sisa kalimat Langgam tertelan seketika. Dewang berdiri di ambang pintu ruang rapat sambil mengulurkan tangan. "Mana revisiannya?"

Langgam mengalami gagap sesaat. Aku yang duduk tepat di sebelah Langgam mengambil inisiatif mencomot paper clip untuk menyatukan file yang baru selesai dicetak Langgam. Aku tahu betul rasanya diserang kegugupan dan tidak bisa apa-apa, jadi itulah yang aku lakukan untuk mem-backup Langgam. Tanganku menyenggol lengan Langgam supaya dia menyerahkan file itu. Namun, Langgam masih bergeming sehingga Dewang akhirnya mengambil file itu dari tanganku.

"Anakprocurement kenapa ikut-ikutan nungguin rapat di sini?" Pertanyaan Dewang yang disampaikan sambil lalu itu menyiutkan nyaliku dan membungkam mulutku. "Kyle masih lama."

Pernyataan itu ditutup dengan gelegar suara pintu ruang rapat yang ditarik Dewang serampangan.

Semoga sekelumit cerita itu memberikan gambaran betapa horornya Sang Dewa Angkara Murka, sehingga aku pun harus menyiapkan nyali sedemikian rupa untuk menghadapinya petang ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Semoga sekelumit cerita itu memberikan gambaran betapa horornya Sang Dewa Angkara Murka, sehingga aku pun harus menyiapkan nyali sedemikian rupa untuk menghadapinya petang ini. Jemariku memijat-mijat kepala. Mataku menatap layar komputer tanpa fokus.

Tidak ada pekerjaan yang mengharuskan lembur departemen procurement hari ini sehingga kebanyakan memilih langsung pulang. Tawaran Mbak Afni jelas aku tolak, takut memperkeruh situasi dan aibku sendiri. Mbak Afni berkeras. Untung saja dia ada janji dengan Kepala Gudang, jadi tidak bisa mengekoriku ke ruangan Dewang. Kinoy juga ngeyel menemaniku siapa tahu aku butuh ditemani menangis merapati nasib. Dia baru pergi setelah aku mengingatkannya bahwa hari ini adalah hari terakhir diskon Royal Canin di toko langganannya.

"Mbak Mosha, sudah bisa ke atas?"

Aku langsung mengusap wajah. Dewa Angkara Murka pasti sudah tidak sabar mengomel sampai-sampai menyuruh Alan datang ke sini menjemputku. "Sepuluh menit lagi boleh? Saya tadi telat satu jam sepuluh menit. Karyawan wajib menebus jam keterlambatannya. Begitu kan, aturan dari Pak Dewang?"

"Ya sudah, saya tunggu di depan lift." Alan pamit undur diri.

"Nggak usah ditunggu!"

Alan menoleh untuk tersenyum. "Saya takut Mbak Mosha nggak datang."

Argh! Sialan! Nggak mau banget kehilangan kesempatan mengomel.

oOo

Alan mengawalku menaiki lift menuju lantai lima. Aku ingin duduk menunggu di sofa depan ruang kerja Alan, tapi dia malah menggiringku langsung menuju ruangan Dewang. Dia menutup pintu ruangan Dewang begitu aku masuk. Aku bahkan curiga Alan menguncinya dari luar kalau-kalau aku berniat kabur. Segitunya tidak mau aku lepas dari omelan bosnya.

Aku menarik napas pendek, mengangangkat kepala, dan bersiap menatap Dewang yang duduk di singgasana kursi CEO-nya dengan mata garang. Namun, kursi itu kosong.

"Saya di sini."

Aku menoleh ke taman kecil di luar ruang kerja. Dewang tampak sedang bersantai. Kemejanya digulung sebatas siku. Ujung kemejanya dibiarkan menyembul keluar dari celana. Rambutnya sudah tidak serapi biasanya. Dewang sedang duduk di sofa sambil menikmati kopi. Kalau orang suka ngopi sambil menikmati camilan, Dewang hobi ngopi sambil menikmati omelan. Aku berjalan lambat dan hati-hati seolah setiap langkah akan mempercepat jalanku mati.

"Silakan duduk."

Aku menarik napas pendek dan mengambil kursi paling jauh dari Dewang. "Saya minta maaf atas kejadian siang tadi."

"Saya nggak meminta kamu ke sini untuk minta maaf."

"Saya akan tutup mulut atas semua yang terjadi, semua yang saya dengar, dan semua yang saya lihat." Aku melatihnya baik-baik percakapan ini supaya tidak kehilangan kosakata saat dilanda kegugupan.

"Lalu bagaimana dengan yang saya lakukan ke kamu?"

Aku menghindari kontak mata langsung. Tatapanku jatuh ke tangan Dewang yang sibuk dengan cangkir kopi. "Sebenarnya apa yang Bapak lakukan tadi kelewatan, tapi saya juga kelewatan karena menerobos ruangan tanpa izin."

"Jadi?"

"Jadi kita impas. Saya akan melupakannya dan menganggapnya tidak terjadi apa-apa."

"Nggak bisa begitu." Dewang meletakkan cangkir kopinya.

"Kalau begitu saya bisa mengundurkan diri. Dengan begitu, Bapak tidak perlu takut rahasia tadi akan menyebar."

"Saya juga nggak minta kamu resign."

"Jadi Bapak maunya saya gimana?"

Kali ini Dewang menurunkan kakinya yang tadi menyilang. Punggungnya kini maju ke arahku yang duduk tepat di depannya. "Saya minta kamu melakukan sebaliknya."

Usahaku menghindari tatapan langsung dengan Dewang pada akhirnya harus diakhiri. Aku menatapnya dengan kening berkerut dan mata menyipit bingung. "Maksud Bapak?"

"Saya mau semua orang tahu bahwa... kita adalah pasangan."

oOo

Dewa Angkara Murka (END)Where stories live. Discover now