[11] Sedu Tanpa Sekutu

16.1K 2.3K 41
                                    

Malam minggu ngapain gengs?

Aya.



Dominasi rasa sakit hati masih menguasai diriku. Kenyataan bahwa aku bertahan hanya untuk dikhianati terlalu menyakitkan. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Aku berkorban dan menemani seseorang yang berujung menusukku dari belakang. Salahku di mana?

Sudah dibuat sekesal dan semarah ini, tapi aku tetap ingin menangis. Tadinya, aku ingin ke toilet, tapi pasti di sana ramai lalu lalang orang—termasuk teman sekantorku. Mau booking kamar kok fancy banget mau nangis doang. Apalagi nangisin orang yang sangat tidak worth it.Jadi aku menuju basementparkiran dan bermaksud bersembunyi di mobil supaya bebas menangis. Persetan kalau ada absensi dan potong gaji bagi mereka yang tidak mengikuti rangkaian acara hingga akhir—memang begitu aturan Dewang, dikit-dikit potong gaji.

Namun bahkan kebebasan menangis di mobilku sendiri pun direbut. Dewang menyambutku di pintu lift.

"Mau ke mana?"

Aku mengernyit. Urusannya apa sama dia aku mau ke mana? "Mau ngambil sesuatu di mobil, Pak."

"Kalau cuma tisu, saya juga punya."

Hah? Aku menoleh dengan takjub kenapa dia tiba-tiba bahas tisu.

"Ikut saya ke mobil."

Aku makin melongo, tapi Dewang sudah jalan duluan. Aku ini sedang menahan-nahan diri mau menangis, masa harus chit-chat duluan sama dia? Terbersit pikiran untuk kabur, tapi Dewang membaca pikiranku.

"Kamu mau jalan sendiri atau saya gandeng ke sini?" Dewang mengetuk pintu mobilnya yang terparkir tidak jauh dari pintu lift.

Aku menggaruk leher. Orang ini kenapa sih? Air mata tolong bertahanlah. Aku melangkah menuju mobil Dewang.

"Masuk," perintahnya sambil masuk ke kursi pengemudi.

Pintu di samping pengemudi sudah kubuka ketika Dewang menginterupsi.

"Duduk di belakang."

Lah? Ini etikanya aku harus gimana sih, kalau disuruh masuk mobilnya bos? Aku duduk di sebelahnya supaya sopan. Kalau duduk di belakang bukannya jadi kayak naik taksi daring? Dia mau viral jadi salah satu supir taksi daring yang pakai mobil mewah apa gimana?

Sudahlah. Umbi-umbian menurut saja. Begitu aku masuk dan duduk, Dewang mengulurkan tisu dari kursi depan. Setelahnya, dia mulai melajukan mobil.

"Pak. Pak. Ini mau ke mana?" Panik nggak? Paniklah. Masa enggak.

"Kamu maunya ke mana?"

Aku melongo. Bingung mau jawab apa.

"Saya nyuruh kamu duduk di belakang supaya kamu punya privasi. Anggap lagi naik taksi dan kita nggak saling kenal."

Kepalaku pusing. Dia ngomong apa sih?

"Silakan menangis sepuasnya."

Bibirku terbuka tanpa suara. Dewang membawaku pergi cuma supaya aku bisa menangis? Air mataku jatuh seketika. Bukan tangis sakit hati karena Kyle, tapi tangis haru karena Dewa Angkara Murka menawariku kebaikan sedemikian rupa. Mungkin ini yang dirasakan sama orang-orang yang terjebak Stockholm Syndrome; terkesima ketika seseorang yang dianggap jahat malah berbuat baik.

"Ke-kenapa?" Aku mengusap air mata yang turun beberapa tetes.

"Karena kamu nggak mungkin mau nangis di depan saya."

Dewa Angkara Murka (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu