1. Divonis

3.2K 364 131
                                    

⚠️BUKAN UNTUK SELF DIAGNOSIS⚠️

Jangan lupa vote komen ya

HAPPY READING

1. DIVONIS

Seminggu setelah kejadian itu, Kinaya memutuskan untuk menemui lelaki asing yang menolongnya kemarin. Ia belum pernah bahkan tidak kepikiran untuk berkonsultasi dengan psikiater. Selama seminggu belakangan juga, ia akhirnya menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan dirinya. Lebih dari sekadar frustasi karena bullying.

Dengan tangan cukup tremor, Kinaya mengisi data diri di formulir yang diberikan resepsionis. Rasanya gugup, takut, bingung, semua campur aduk. Setelah selesai, ia mengembalikan kertas itu ke resepsionis dan kembali duduk di kursi untuk menunggu antrean.

Kinaya memandang sekitar, hanya ada 2 orang perempuan lainnya di kursi bagian belakang.

Kinaya memainkan jemarinya yang kini mulai berkeringat.

Hingga beberapa menit kemudian, nama Kinaya dipanggil. Lalu dipersilahkan masuk ke ruang psikiatri.

Gugup Kinaya kian menjadi bahkan saat membuka pintu ruangan saja terasa lemas. Ini baru kali pertama ia ke tempat ini.

Kinaya akhirnya masuk lalu menutup pintu kembali. Aroma lavender pun menyeruak di indra penciumannya. Begitu membalikkan badan, ia bertemu pandang dengan Rangga yang duduk di balik meja kerjanya dengan kemeja biru berbalut jas kebanggaannya.

Rangga langsung menyambut Kinaya dengan senyuman menawan. "Halo, saya senang kamu berkenan ke sini. Silakan duduk."

Kinaya hanya balas dengan senyuman canggung, ia kemudian duduk di salah satu kursi yang tersedia, berhadapan dengan Rangga di depannya. Tidak lupa meletakkan ranselnya di kursi sebelah, juga dengan setangkai bunga tulip yang ia bawa sejak tadi. Ia memandang kembali Rangga, yang ia akui masih sangat muda. Rangga juga tampan, pikirnya.

"Jangan gugup, rileks aja," ujar Rangga, begitu menyadari kegugupan Kinaya dengan tingkah lakunya.

Kinaya hanya tersenyum tipis. "Iya, dok."

"Coba tarik napas dulu," pinta Rangga, kemudian dituruti Kinaya.

"Udah lebih baik?" tanya Rangga.

"Udah." Kinaya mulai lebih rileks.

"Kamu langsung ke sini setelah pulang sekolah?" tanya Rangga, melihat Kinaya masih mengenakan seragam sekolah lengkap dengan ransel yang ia bawa.

"Iya, dok."

"Kamu sudah izin orang tua, kan. Kikanaya?" tanya Rangga, memastikan. Karena memang seharusnya seorang anak meminta izin ke orang tua terlebih dahulu untuk menemui psikiater.

Kinaya memandang ke arah bawah. "Belum, dok."

Rangga sedikit terkejut. "Kenapa?"

"Aku nggak tau harus ngomong gimana." Kinaya tampak menunduk.

"Tapi setelah ini kamu janji sama saya, harus bilang ke orang tua ya," balas Rangga.

Kinaya mendongak. Namun hanya diam, enggan menepati janjinya.

"Ya udah, sekarang kamu cerita dulu, ada apa? Saya akan berusaha bantu apa pun masalah kamu." Rangga menyatukan jemarinya di meja.

Bukannya menceritakan masalahnya, Kinaya justru mulai terisak.

Rangga tidak terkejut, karena reaksi seperti ini sudah cukup sering terjadi pada beberapa kasus yang serupa.

Tangisan Kinaya semakin pecah. Suara pilu Kinaya terdengar begitu menyakitkan. Dan itu membuat hati Rangga ikut hancur.

Tarangga Untuk Kikanaya (Completed)Where stories live. Discover now