Part 02

41 6 0
                                    

•───────◐◑❁❁❁◐◑───────•

Melda sedang berada di kelas 11-IPA-A, sesuai dengan jadwalnya.

".... Jadi, kalian bisa mengalihkannya dengan mencari kesibukan, seperti melukis, menggambar, mendengarkan musik, dan lain-lain. Dengan begitu, pikiran kalian akan bersih dari hal-hal seperti itu," Melda mengakhiri penjelasannya. Ia pun duduk di kursi meja guru.

"Sekarang kalian tulis nama, cita-cita, dan juga harapan kalian. Apa pun itu, tuliskan di buku. Setelah jam pelajaran berakhir, kumpulkan dan berikan pada Ibu," ucap Melda.

"Baik, Bu."

Pandangan Melda tertuju ke jendela ujung. Ia melihat seorang siswi berambut wave berdiri di sana dan menatap ke arahnya dengan tatapan dingin. Siswi itu pun berlalu pergi.

Melda tidak terlalu memikirkannya.

Jam menunjukkan pukul 5 sore. Melda berjalan di koridor sekolah sembari membawa tumpukan kertas di tangannya. Ia memasuki ruang BK. Baru sampai di pintu, langkahnya terhenti kala mendengar suara tangisan wanita di kamar mandi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ruang BK.

Melda tidak menghiraukannya. Ia melanjutkan langkahnya masuk ke ruang BK dan meletakkan tumpukan kertas itu ke meja. Namun, suara tangisan itu terdengar semakin jelas.

Melda beranjak dari kursinya dan pergi ke kamar mandi. Ia melihat tanda kamar mandi pria di atas pintu. Melda pun mengurungkan niatnya untuk masuk. Namun, suara tangisan wanita masih terdengar jelas di dalam kamar mandi tersebut. Ia berpikir, mungkin seseorang tengah melukai wanita itu di dalam kamar mandi.

Melda masuk dan melihat kamar mandi itu sangat kotor. Ada banyak tinja yang tidak dibersihkan dan sudah lama mengering. Kamar mandi itu sepertinya sudah lama tidak digunakan. Bahkan dinding dan sudut ruangan kamar mandi tertutup oleh sarang laba-laba.

Suara tangisan itu menghilang berganti dengan suara desahan-desahan yang bersahutan.

Melda melihat salah satu bilik yang tertutup. Suara desahan itu berasal dari sana.

Melda membuka pintu bilik tersebut. Kedua matanya terbelalak lebar melihat seorang siswi yang duduk di lantai dan bersimbah darah. Napas siswi itu tersengal-sengal.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa begini?" Melda menghampirinya dan berniat menolongnya. Tiba-tiba siswi itu muntah darah. Sebagian mengenai baju Melda.

Melda mengambil ember di sampingnya. Siswi itu muntah ke dalam ember.

"Tolooong! Tolong!" Melda berteriak meminta tolong. "Seseorang! Tolong! Ada siswi yang butuh bantuan!"

Ember itu kini dipenuhi dengan muntahan darah, bahkan sebagian meluber dan tumpah ke lantai. Tidak hanya darah yang dimuntahkan oleh siswi itu, tapi ada paku, silet, dan juga belatung-belatung besar.

Melda yang panik akan pergi untuk mencari pertolongan. Tapi, siswi itu meraih tangannya dan memegangnya dengan erat.

"Aku tidak akan mati sendirian!" ucap siswi itu dengan suara menyerupai pria.

Melda merinding ketakutan.

"Bu Melda sedang apa di sini?" suara pria membuat perhatian Melda teralihkan, ternyata ada guru laki-laki yang datang.

"Pak Dedi, tolong anak ini...." Melda kembali melihat ke dalam bilik, sebuah ember jatuh ke lantai. Tidak ada siapa-siapa di dalam bilik itu. Siswi itu menghilang.

Melda membeku seketika. Bahkan noda muntahan di bajunya juga menghilang.

"Lebih baik, Bu Melda segera kembali ke ruangan BK," ucap Dedi sambil melihat ke sekeliling ruangan kamar mandi.

Melda kembali ke ruang BK dengan ekspresi yang masih syok. Ia yakin, yang barusan itu bukanlah halusinasi. Itu terlihat nyata.

"Bu Melda? Saya kira, Bu Melda pulang duluan," kata Monika.

Melda duduk di bangkunya. "Enggak, saya enggak pulang, kok. Bukankah malam ini kita harus lembur dan memberikan tanda legalisir ijazah untuk anak-anak?"

Monika mengeluarkan tumpukan map dari dalam lemari. "Iya, ayo, kita lakukan agar cepat selesai."

Melda melongo kala melihat banyak sekali map yang harus mereka legalisir.

Jam menunjukkan pukul 9 malam. Melda dan Monika masih sibuk memberikan cap legalisir di tiap ijazah.

"Kenapa ini menjadi tugas guru BK? Kenapa tidak wali kelas murid saja yang melakukan semua ini?" gerutu Monika yang sedari tadi mengeluh. Padahal ia yang paling senior, tapi dirinya juga yang paling banyak mengeluh.

Sementara Melda tetap bekerja, tanpa mengeluh sedikit pun. Ia teringat sesuatu. "Bu Monika."

"Hm?"

"Kamar mandi yang dekat dengan gudang itu sudah tidak terpakai, ya?" tanya Melda.

"Iya, sudah lama sekali tidak dipakai. Bahkan sebelum saya bekerja di sini," sahut Monika.

Melda mengernyit. "Kenapa? Sepertinya kamar mandi itu masih bagus."

"Bu Melda enggak tahu?" tanya Monika.

Melda menggelengkan kepalanya.

Monika menatap Melda. "Saya kira, selama 6 bulan bekerja di sini, Bu Melda sudah tahu."

Melda menatap Monika dengan serius. Ia tampak penasaran.

Monika mulai bercerita, "Jadi, beberapa tahun yang lalu, ada seorang guru yang memperkosa muridnya di kamar mandi itu."

Melda mendengarkan dengan serius.

Monika menghela napas berat setiap mengingat kejadian itu. Ia melanjutkan, "Siswi itu berteriak meminta tolong. Tapi, keadaan sekolah sangat sepi, karena semua orang sudah pulang. Siswi itu masih berada di sekolah, karena dia ikut kegiatan ekstrakurikuler. Ketika berteriak meminta tolong, ada dua orang siswa yang lewat. Mereka datang ke kamar mandi itu, karena mendengar suara teriakan. Tapi, bukannya menolong, mereka malah ikut menggilir siswi itu."

Melda tampak sedih dan juga kesal mendengar cerita itu.

"Siswi itu memiliki penyakit asma. Saat itu, asmanya kambuh. Guru dan kedua siswa panik. Mereka mencari inhaler atau obat di tas siswi itu, tapi mereka tidak menemukannya. Akhirnya siswi itu tewas," Monika menjeda kalimatnya.

Melda masih serius mendengarkan.

"Untuk menutupi kematian siswi itu, si guru mengambil silet dan menyayat pergelangan tangan siswi itu agar tidak dicurigai sebagai pemerkosaan dan pembunuhan tidak berencana. Mereka merekayasa TKP (sebelum polisi datang) agar kematian siswi itu terlihat seperti bunuh diri," sambung Monika.

"Lalu?" Melda sangat penasaran.

"Awalnya polisi memang mengira kalau itu adalah bunuh diri. Penyelidikan itu pun berakhir. Tapi, guru dan kedua murid itu selalu dihantui oleh siswi itu. Satu per satu dari mereka pun mati, dimulai dari guru, si siswa dan tinggal satu orang lagi, yaitu siswa satunya. Karena tidak ingin bernasib sama dengan guru dan temannya, dia pun datang ke kantor polisi untuk menyerahkan diri dan mengakui kesalahannya." Cerita pun berakhir.

Melda mencerna keseluruhan cerita tersebut. "Jadi, siswa itu masih hidup sampai sekarang, setelah mengakui kesalahannya dan menyerahkan diri pada polisi?"

Monika mengangguk. "Iya, kabarnya begitu. Mungkin dia hidup di suatu tempat."

Melda membuang napas kasar.

Monika kembali bersuara, "Sejak di jadikan TKP dan sampai sekarang pun, tidak ada yang berani menggunakan kamar mandi itu. Jadi, ya, dibiarkan saja seperti itu."

•───────◐◑❁❁❁◐◑───────•

11.38 | 1 Januari 2022
By Ucu Irna Marhamah

MALEVOLENCEWhere stories live. Discover now