Part 09

17 2 0
                                    

•───────◐◑❁❁❁◐◑───────•

Melda berbalik dan menarik lengan Syera untuk keluar dari kelas. "Apa yang kamu lakukan pada saya? Kamu menyantet saya?"

Syera mengernyit sambil menatap ibu tirinya.

"Kamu mengirimkan guna-guna agar saya mati, karena kamu benci sama saya. Iya, kan?" tanya Melda.

"Apa yang Anda bicarakan?" tanya Melda.

"Kamu enggak usah ngeles!" bentak Melda. Ia melanjutkan, "Barusan saya solat dan mendapatkan petunjuk dari Allah. Saya melihat ada kuburan, setan, kemenyan yang dibakar, dan boneka santet yang ditusuk jarum pentul. Itu pasti perbuatan kamu, kan?! Siapa lagi kalau bukan kamu?!"

"Terserah Bu Melda mau bicara apa, tapi saya tidak pernah berpikir melukai orang lain dengan cara seperti itu. Saya lebih suka melakukannya secara langsung," kata Syera dengan sarkas.

Tamparan keras mendarat di wajah Syera. Melda yang menamparnya.

"Seperti ini? Kamu lebih suka ditampar secara langsung, kan?!" bentak Melda.

Syera meludah ke tanah. Ada sedikit bercak darah di ludahnya itu. Ia mendongkak menatap Melda. "Setelah menampar saya, apakah Bu Melda masih berpikir kalau Anda ini berusaha menjadi seorang ibu tiri yang baik untuk saya?"

Melda terdiam.

"Bahkan Anda tidak punya bukti sama sekali yang menunjukkan kalau saya melukai Anda dengan cara mengirimkan santet. Tapi, Anda menampar saya. Itu menunjukkan kalau Anda juga sebenarnya membenci saya," ucap Syera.

Melda tidak bisa menjawab.

Syera mendecih. "Tidak ada ibu tiri yang benar-benar baik dan peduli pada anak tirinya di dunia ini. Mungkin ada, tapi tidak lebih dari 0,001%."

Setelah mengatakan itu, Syera berlalu pergi. Namun, Melda menyentuh bahunya. Langkah Syera pun terhenti.

"Maafkan saya, Syera," ucap Melda.

"Permintaan maaf dari mulut Anda tidak pernah terdengar tulus," ucap Syera sambil memutar kepalanya 180° menatap Melda.

Melda menjerit ketakutan melihat itu. Warna mata Syera putih semua. Melda yang ketakutan pun berlari kencang ke ruang BK.

Syera yang terlihat normal tampak memasang ekspresi datar sambil menatap ibu tirinya yang berlari pergi darinya.

Di ruang BK, Melda duduk di kursinya. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah lalu meneguk satu gelas air hingga tandas. Melda menggelengkan kepalanya. Ia mencoba berpikir positif.

"Tidak mungkin, aku pasti berhalusinasi," gumam Melda.

Seseorang menepuk bahunya membuat Melda terlonjak. Ia menoleh, ternyata Monika. Melda membuang napas kasar.

"Bu Melda kenapa?" tanya Monika khawatir.

"Pulang dari sini, kita pergi ke rumah dukun itu. Saya yakin dia mengirimkan santet untuk melukai saya," kata Melda.

"Dia?" tanya Monika.

Melda mengangguk pelan. "Anak tiri saya, Syera."

"Syera? Kelas 12-IPA-F?" Monika tampak terkejut. Ia menutup mulutnya karena tak percaya.

"Syera yang...." Monika tidak melanjutkan kata-katanya.

"Dia benci sama saya semenjak saya menikah dengan ayahnya. Padahal saya sudah berusaha menjadi ibu tiri yang baik. Saya menganggapnya seperti anak kandung saya sendiri," kata Melda.

Monika mengusap bahu Melda. "Kalau begitu, kita harus segera pergi ke dukun itu sebelum Syera melakukan hal yang lebih jauh lagi dan membuat santetnya semakin kuat dan memperparah kondisi Bu Melda."

MALEVOLENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang