Part 04

36 5 0
                                    

•───────◐◑❁❁❁◐◑───────•

"Terima kasih, Bu Melda," kata Monika setelah Melda mengantarkannya sampai ke rumah.

Melda mengangguk. "Mari, Bu."

Monika mengangguk. "Mari, mari."

Melda melajukan mobilnya meninggalkan rumah Monika.

Di dalam perjalanan, Melda memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Semua itu terlalu nyata jika memang benar hanya halusinasinya.

Sesampainya di rumah, Melda memarkirkan mobilnya di garasi. Ia memasuki rumah dan membersihkan diri. Untuk makan malam yang terlambat pun, Melda sudah kehilangan selera makan. Ia memilih untuk segera tidur, setelah selesai mandi.

Namun, Melda tidak ingin tidur di kamarnya, terlebih lagi kamarnya itu merangkap dengan kamar mandi. Ia memilih untuk tidur di kamar tamu di lantai satu.

Ketika ia akan melelapkan tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara gedoran di pintu utama, menandakan ada seseorang yang datang bertamu. Namun, orang gila mana yang malam-malam datang ke rumah orang lain untuk bertamu.

Melda mengernyit. Ia berpikir kalau itu mungkin saja Yusar, suaminya. Melda segera memeriksa ponselnya. Tidak ada notifikasi apa pun dari Yusar. Melda memilih untuk mengirimkan pesan pada suaminya.

YUSAR

Mas, kamu pulang malam ini?

Melda melihat akun suaminya yang online dan sedang mengetik. Beberapa saat kemudian, balasan dari Yusar muncul.

Besok aku pulang, Sayang.
Sekarang ada apa lagi?

Aku mendengar suara
gedoran di pintu.
Aku pikir, itu kamu, Mas.

Gedoran itu kembali terdengar. Melda mendapatkan pesan balasan dari Yusar.

Jangan dibuka, mungkin saja
itu maling atau orang iseng.

Melda tampak berpikir. "Mana ada maling mengetuk pintu dulu sebelum mencuri?"

Gedoran itu terdengar semakin keras. Melda mengambil tongkat baseball lalu bergegas pergi ke pintu utama. Ia melihat lewat jendela. Tidak ada siapa pun di luar sana.

Melda akan kembali ke kamarnya, tapi gedoran itu kembali terdengar. Melda yang kesal akhirnya membuka pintu sambil bersiap dengan tongkat baseball-nya.

Tidak ada siapa-siapa. Ia mengernyit. Ketika berbalik, Melda terlonjak kaget dan berteriak keras melihat seorang gadis berseragam SMA berdiri di dekatnya. Gadis berambut wave itu adalah siswi yang tadi siang menatap Melda __yang sedang mengajar di kelas 11-IPA-A__ dari jendela.

Saat ini, gadis itu juga menatap Melda dengan tatapan yang sama.

"Syera? Jam segini kamu baru pulang? Kamu dari mana?" Melda terlihat kesal.

Gadis bernama Syera itu tidak merespon ucapan Melda. Ia melenggang masuk ke dalam rumah.

"Syera!" Melda menatap punggung Syera yang kini menaiki tangga.

Melda menggelengkan kepalanya. Ia pun menutup pintu. Melda merasa lebih lega sekarang, karena ia tidak sendirian lagi di rumah. Melda menaiki tangga menyusul Syera.

"Syera, apa kamu lapar? Mama masak buat kamu, ya," kata Melda yang ternyata adalah ibu dari gadis remaja itu.

Syera tidak merespon. Ia menutup pintu kamarnya dengan agak membantingnya.

Melda mengetuk pintu kamar Syera. "Syera, jawab Mama! Mama sedang bicara!"

Melda mendengus kesal. Ia pun pergi ke kamar tamu yang akan ia tempati. Wanita itu pun merebahkan tubuhnya ke ranjang.

Tampaknya Melda tidak bisa tidur. Ia pergi ke kamarnya di lantai dua dan mengambil tabung kecil berwarna jingga dari dalam laci. Isinya beberapa butir obat. Melda menelan beberapa pil kemudian minum setengah gelas air.

Melda kembali ke kamar tamu. Ia terkejut melihat kamar tamu itu yang sudah berantakan.

"Siapa yang melakukan ini?" gumam Melda. Ia mengernyit melihat bercak darah di sprei. Karena hari semakin larut, Melda memilih tidur di kamar yang bersebelahan dengan kamar tersebut.

Keesokan harinya, Melda bangun lebih pagi, padahal semalam ia kurang tidur. Melda memasak makanan untuk sarapan dan menyajikannya ke meja. Dua porsi masakan yang ia buat tampak begitu menggugah selera.

Syera menuruni tangga. Ia terlihat sudah rapi dengan seragam sekolahnya.

"Selamat pagi, Syera. Ayo, kita sarapan bersama," kata Melda sembari tersenyum keibuan.

Syera tidak merespon. Ia mengeluarkan roti tawar dan mengolesinya dengan mentega kemudian berlalu begitu saja.

"Syera! Mama sedang bicara! Kenapa kamu tidak pernah menghargai Mama?!" bentak Melda.

Langkah Syera terhenti. Ia menoleh dan menatap Melda dengan tatapan penuh kebencian. "Anda bukan mama saya, berhenti meminta saya memanggil Anda dengan sebutan mama."

Melda terluka mendengar ucapan Syera. Ia menatap punggung Syera yang berlalu pergi dan menghilang di balik pintu.

Melda menjatuhkan semua masakannya di meja makan hingga jatuh ke lantai. Mangkuk dan piring pecah, isinya berhamburan.

Di sekolah.

Kepala sekolah bersama beberapa guru dan beberapa murid organisasi OSIS pergi ke rumah Jamal untuk berbelasungkawa. Melda dan Monika yang menemukan jenazah Jamal otomatis juga datang.

Setelah itu, mereka kembali ke sekolah dan bekerja seperti biasanya.

Melda duduk di mejanya, begitu pun dengan Monika.

Melda melihat ada kantung mata di bawah pelupuk mata Monika. Tampaknya seniornya itu tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam.

Seorang guru laki-laki datang ke ruang BK. "Bu Monika, dipanggil Pak Kepala Sekolah."

Monika dan Melda saling pandang untuk sesaat sebelum dirinya pergi bersama guru laki-laki itu.

Melda tampak berpikir. Mungkin Pak Edwin hanya ingin menanyakan tentang jenazah Pak Jamal.

Tak lama kemudian, Monika kembali ke ruang BK bersama guru laki-laki yang tadi.

"Bu Melda, Pak Kepala Sekolah ingin berbicara," ucap guru laki-laki itu.

Melda melirik sebentar ke arah Monika kemudian ia pun mengangguk dan pergi bersama guru laki-laki itu.

Di ruang kepala sekolah, Melda duduk berhadapan dengan Edwin __Kepala Sekolah SMA Cita Nusa__.

"Apakah, semalam Bu Melda dan Bu Monika yang lembur?" tanya Edwin.

Melda mengangguk. "Iya, benar, Pak."

"Kalian berdua juga yang menemukan mayat Pak Jamal?" tanya Edwin lagi.

Lagi-lagi Melda mengangguk.

"Kalian menelepon polisi di ruang guru. Apa yang kalian lakukan di sana sampai-sampai meja dan kursi ruang guru menjadi menumpuk dan menggunung seperti itu?" tanya Edwin.

Melda mengibaskan kedua tangannya untuk membela diri. "Kami tidak melakukan apa pun, Pak. Tiba-tiba meja dan kursinya menjadi berantakan dan menggunung seperti itu dalam sekejap. Kami juga tidak mengerti."

"Kesaksian Bu Melda sama dengan kesaksian Bu Monika, tapi ini tidak masuk akal," ucap Edwin setengah bergumam.

Melda mengernyit. Ia baru menyadari jika Edwin menanyai mereka (Melda dan Monika) secara terpisah untuk mengetahui kejujuran mereka dengan menanyakan pertanyaan yang sama.

Namun, sudah pasti jawabannya sama, karena Monika dan Melda mengalami kejadian itu sama-sama dengan mata dan kepala mereka sendiri.

Melda agak kesal juga karena hal tersebut. "Coba Bapak cek CCTV di ruang guru kalau Bapak tidak percaya pada kami."

•───────◐◑❁❁❁◐◑───────•

14.14 | 1 Januari 2022
By Ucu Irna Marhamah

MALEVOLENCEWhere stories live. Discover now