Part 08

23 3 0
                                    

•───────◐◑❁❁❁◐◑───────•

Di ruangan BK. 

Melda kembali memeriksa kertas-kertas itu. Ia tidak menemukan kertas yang isinya ditulis dengan tinta merah.

Melda menghempaskan bokongnya ke kursi sambil menghela napas berat. Ia kembali teringat dengan kejadian di mana dirinya berhalusinasi muntah darah dan benda tajam lainnya. Ia berpikir mungkin saja seseorang menyantet dirinya seperti yang terjadi pada siswi korban pemerkosaan di kamar mandi terbengkalai itu.

Monika memasuki ruang BK.

"Hari yang melelahkan," keluh Monika sambil duduk di kursinya.

Melda menghampiri Monika dan duduk di sampingnya. "Bu Monika, saya mau tanya sesuatu."

"Iya?"

"Mengenai santet, apakah orang yang terkena santet akan menderita sebelum mati?" tanya Melda dengan ekspresi khawatir.

Monika tampak berpikir kemudian ia menjawab, "Sepertinya begitu. Beberapa orang yang terkena santet akan diikuti oleh makhluk yang dikirimkan oleh dukun untuk diteror. Bahkan dukun bisa memasukkan benda-benda tajam dan lain sebagainya ke tubuh orang yang disantet olehnya. Akibatnya orang yang terkena santet akan merasakan sakit dibagian tertentu. Hanya itu yang saya tahu, Bu."

Melda mencerna penjelasan Monika.

"Apakah ada sesuatu yang terjadi, Bu?" tanya Monika.

"Sepertinya saya terkena santet," kata Melda pelan.

Monika tampak terkejut. "Apa?! Tapi, siapa yang tega mengirimkan santet pada Bu Melda? Apakah Bu Melda punya musuh? Ataukah ada seseorang yang membenci Bu Melda?"

Wajah Syera terbayang dalam benak Melda. "Entahlah, saya juga tidak tahu, Bu. Tapi, beberapa bulan terakhir, saya merasa diteror oleh makhluk halus. Dan saat sendirian di rumah, saya merasa kalau saya tidak sendirian. Seperti ada orang lain di rumah yang terus mengawasi dan mengikuti saya ke mana pun saya pergi. Dada saya juga sakit sekali setelah kejadian pingsan kemarin."

Monika tampak prihatin dengan apa yang menimpa Melda.

"Bahkan saya berkonsultasi dengan psikiater. Saya tidak bisa membedakan halusinasi, delusi, dan juga kenyataan," sambung Melda.

"Kenapa Bu Melda tidak pergi ke dukun saja bersama Pak Yusar untuk berkonsultasi? Psikiater saja tidak cukup. Psikiater hanya memberikan obat dan nasehat, masukan, atau apa pun itu. Kalau dukun sudah pasti bidangnya," kata Monika.

"Bu Monika punya alamat dukun yang biasa mengobati orang yang kena santet?" tanya Melda.

"Iya, saya punya alamatnya. Tante saya pernah berobat di sana," jawab Monika.

Bel istirahat berbunyi.

Kali ini Melda pergi ke kantin dan makan di kantin bersama Monika. Keduanya makan sembari bercakap-cakap.

Seorang guru berhijab menghampiri mereka. "Boleh saya duduk di sini?"

"Silakan," jawab Melda.

Monika menggeser duduknya. Guru berhijab bernama Rahma itu duduk di bangku bekas Monika duduk.

"Bu Melda terlihat pucat sekali hari ini. Apa Bu Melda masih sakit?" tanya Rahma.

Melda tersenyum kaku. "Saya sudah merasa lebih baik sekarang."

"Jangan terlalu memaksakan diri. Kalau masih sakit, lebih baik istirahat saja sampai sembuh," ucap Rahma.

"Saya tidak enak sama Bu Monika kalau saya meninggalkan pekerjaan terlalu lama. Bu Monika pasti kesulitan mengurus anak-anak yang nakal," ucap Melda dengan pandangan tertuju pada Monika.

MALEVOLENCEWhere stories live. Discover now