Part 19

16 1 0
                                    

•───────◐◑❁❁❁◐◑───────•

Melda pergi ke pemakaman. Ia menatap makam Ranti. Dan di samping makam Ranti, ada makam yang masih terbilang agak baru. Di batu nisan tersebut tertulis nama Assyeira Maharani Putri Dharmawan binti Yusar Jaya Dharmawan.

Melda melihat tanggal lahir dan tanggal kematiannya.

19 September 2004 - 28 April 2021

Tidak terlalu jauh dari tempat Melda berdiri, terlihat dua orang pria paruh baya yang sedang menggali kubur. Mereka berhenti sejenak dari pekerjaannya dan menoleh ke arah Melda.

"Eh, Jon, Mbak itu yang kemarin ngomong sendiri, kan?"

"Iya, kasihan, ya. Mana masih muda."

❁ Flashback On ❁

Melda telah sampai di pemakaman. Ada dua orang penggali kubur di sana. Melda mengangguk santun pada kedua pria itu. Mereka berdua juga mengangguk santun.

Melda menghentikan langkahnya di dekat makam Ranti. Ia tidak melihat ke arah makam Syera. Seandainya ia menoleh sedikit saja, maka ia akan melihat nama Syera di batu nisan itu.

"Syera.... " Melda memanggil nama Syera.

Dua pria paruh baya penggali kuburan yang berada tak jauh dari Melda mendengar suaranya. Mereka menoleh pada Melda.

"Syera, ayo pulang," ucap Melda dengan nada membujuk.

Kedua penggali kuburan itu saling berbisik.

"Dia bicara dengan siapa, Jon?"

"Mana saya tahu."

❁ Flashback Off ❁

Melda kembali memasuki mobilnya. Ia pergi ke kantor Lisma. Tapi, Lisma sedang kedatangan pasien lain. Sehingga Melda menunggu di ruang tunggu. Ada camilan dan minuman yang tersaji di meja.

Beberapa saat kemudian, pasien itu pun pulang. Saat melewati ruang tunggu, Melda tersenyum sambil mengangguk santun, begitu juga dengan wanita itu. Ia melakukan hal yang sama.

Kini Melda duduk berhadapan dengan Lisma.

"Aku rasa, aku bukan hanya berhalusinasi parah. Tapi, aku juga sudah gila," kata Melda.

Lisma mengernyit. "Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

Melda menatap Lisma. "Apa kamu masih ingat dengan anak tiriku?"

Lisma mengangguk. "Tentu, aku masih ingat. Syera, kan? Meski pun aku tidak pernah bertemu secara langsung dengannya, kamu sering menceritakannya."

"Sebenarnya... dia sudah meninggal satu bulan yang lalu," ucap Melda.

"A-apa?!" Lisma tampak terkejut.

Melda membuang napas kasar. "Aku juga tidak percaya, tapi memang itu kenyataannya."

"Tapi, bagaimana bisa kamu melupakan hari kematiannya?" Lisma kebingungan.

"Aku juga tidak tahu. Ini bukan halusinasi, tapi seperti amnesia," sahut Melda, "ini bukan lagi tentang ilmu kedokteran. Sepertinya aku terkena guna-guna."

Lisma memutar bola matanya. Ia sudah lelah dengan perkataan Melda yang kembali lagi berpikir ke arah sana.

"Lusa tanggal merah, jadi sekolah libur. Bisakah kamu menemaniku pergi ke dukun?" tanya Melda.

Lisma tampak berpikir. "Sepertinya lusa aku memang tidak ada janji dengan pasienku, tapi...."

Melda menggenggam tangan Lisma dengan erat. "Aku mohon." 

MALEVOLENCEWhere stories live. Discover now