Part 11

17 2 0
                                    

╭┉┉┅┄┄┈•◦ೋ•◦❥•◦ೋ

Manusia terkadang egois. Dirinya ingin dimengerti, tapi enggan mengerti orang lain. Ia merasa yang paling tersakiti, padahal ia juga luka bagi orang lain.

•◦ೋ•◦❥•◦ೋ•┈┄┄┅┉┉╯

•───────◐◑❁❁❁◐◑───────•

Minggu pagi yang yang cerah.

Di depan rumah, terlihat Yusar yang sudah bersiap akan pergi lagi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Melda berdiri memperhatikan suaminya yang memasukan koper ke dalam bagasi mobil.

"Sayang, aku berangkat, ya. Jaga diri baik-baik." Yusar mengusap rambut Melda lalu mengecup kening istrinya itu.

Melda hanya mengangguk. "Hati-hati di jalan."

Yusar memasuki mobilnya.

Melda melambaikan tangannya kala mobil itu melaju pergi meninggalkan rumah.

Melda mengunci pintu rumah. Ia pergi ke garasi dan memasuki mobilnya. Tampaknya Melda ingin pergi ke suatu tempat. Ia pun melajukan mobilnya.

Mobil Melda berhenti di depan gedung besar. Ia turun dari mobil lalu memasuki gedung. Melda mendatangi salah satu unit gedung. Ternyata salah satu ruangan di gedung itu adalah kantor Lisma.

"Silakan duduk." Lisma duduk di kursinya.

Melda pun duduk berhadapan dengan Lisma.

"Bagaimana kondisi kamu sekarang? Apa sudah lebih baik?" tanya Lisma.

"Aku datang ke mari ingin meminta obat yang sama," kata Melda tanpa basa-basi.

"Tapi, bukankah beberapa hari yang lalu aku sudah memberikan obat yang masih baru? Apakah sudah habis?" tanya Lisma.

Melda tidak segera menjawab. Ia tampak berpikir. "Aku lupa menaruhnya di mana. Aku kembali berhalusinasi dan tertekan belakangan ini. Jadi, aku membutuhkan obat itu lagi."

"Harusnya obat itu habis dalam 24 hari. Kamu tidak meminumnya dengan dosis tinggi, kan?" tanya Lisma curiga.

Melda menggeleng cepat. "Tidak, kok. Aku meminumnya secara rutin seperti saran yang kamu anjurkan."

Lisma masih tampak tidak percaya. "Kalau kamu meminumnya lebih dari satu butir setiap satu kali minum, itu bisa membahayakan kesehatan kamu juga. Selain itu, kalau kamu sampai overdosis, aku juga yang kena. Pekerjaanku bisa hilang dan aku akan masuk penjara karena dianggap tidak memberikan aturan minum obat yang tepat dan sesuai takaran."

"Sudah kubilang, aku tidak minum dalam dosis tinggi. Buktinya aku baik-baik saja sekarang," sanggah Melda.

"Baiklah, tunggu sebentar." Lisma beranjak dari tempat duduknya kemudian ia berlalu ke ruangan lain di kantornya itu.

Melda menunggu. Ia melihat foto di dinding. Terlihat foto dirinya bersama Lisma. Ternyata mereka berdua adalah teman lama. Tapi, sebenarnya Lisma beberapa tahun lebih tua dari Melda. Karena Melda dan Lisma sudah sangat dekat, Melda tidak memanggil Lisma dengan sebutan Kakak atau Mbak.

Lisma kembali dengan tabung obat di tangannya. "Lain kali simpan di tempat yang gampang diingat dan mudah dijangkau."

"Terima kasih." Melda menerimanya.

"Bagaimana hubunganmu dengan Syera?" tanya Lisma.

Melda menghela napas berat. "Begitulah, sepertinya memang tidak ada kesempatan untuk akur."

Lisma mengangguk mengerti. "Dia seharusnya bersyukur memiliki seorang ibu yang baik, meski pun kamu ibu sambungnya."

Melda tidak merespon.

Setelah pergi meninggalkan kantor Lisma, Melda pergi ke rumah sakit. Ia memberikan obat yang baru saja ia dapatkan dari Lisma dan obat yang sebelumnya didapat dari Lisma juga. Ia ingin mengetahui kandungan obat tersebut untuk memastikan kejujuran Lisma. Hasilnya akan mempengaruhi hubungan pertemanan mereka yang sudah lama terjalin.

Jika Lisma memang mengisi obatnya dengan obat-obatan yang salah, Melda tidak akan marah dan kecewa. Ia hanya ingin bertanya, kenapa Lisma melakukan itu?

"Hasilnya akan keluar besok," kata dokter.

"Terima kasih, Dok."

Melda pun kembali ke rumah. Ia duduk di sofa lalu menelepon Monika.

"Halo, Bu Melda? Apa kabar?" suara Monika dari seberang sana.

"Kabar saya baik, Bu. Bagaimana dengan kabar Bu Monika?" Melda balik bertanya.

"Kabar saya juga baik, Bu," jawab Monika.

"Bagaimana di tempat baru, Bu?" tanya Melda.

"Saya masih dalam tahap beradaptasi di sini. Jadi, selama lima hari ini tidak ada masalah," ucap Monika.

Melda terdiam. Dalam hati, ia menghitung hari. Ternyata Monika sudah pindah sehari setelah Melda pingsan. Artinya Monika pindah ketika Melda menjalani masa cuti karena sakit. Pantas saja Melda tidak tahu Monika pindah.

"Saya menelepon Bu Melda berkali-kali untuk berpamitan, tapi tidak diangkat. Karena Bu Melda sedang sakit, jadi saya pikir, Bu Melda sedang beristirahat total dan tidak memegang HP," ucap Monika.

"Tidak apa-apa, Bu. Yang penting sekarang saya sudah sembuh dan proses perpindahan Bu Monika ke SMA baru juga lancar," kata Melda.

"Amiiin, mudah-mudahan saja."

Melda menggaruk telinganya yang terasa gatal.

Monika kembali bersuara, "Bu Melda yang kuat, ya. Sekarang Bu Melda satu-satunya guru BK di SMA Cita Nusa. Semoga saja Bu Melda tidak kerepotan."

Melda hanya tersenyum sambil menggaruk telinganya. Terlihat ada antena serangga yang mencuat keluar dari lubang telinga Melda. Ia pun menariknya keluar, ternyata seekor kecoa.

"Aaaa!!!" Melda berteriak histeris sambil melompat ke sofa ketika melihat kecoa yang keluar dari telinganya itu menggeliat di lantai kemudian merayap pergi ke bawah meja.

"Kenapa? Ada apa, Bu Melda?" suara Monika dari seberang sana yang terdengar khawatir.

"Enggak apa-apa, Bu. Nanti saya hubungi lagi, ya."

Panggilan pun berakhir.

Melda merasa mual. Ia memegangi dadanya yang terasa begitu sakit. Melda tidak bisa menahan diri untuk tidak muntah. Cairan berwarna hitam yang dimuntahkannya ke lantai. Cairan kental itu tampak berkedut-kedut.

Melda kembali muntah ia mendongkak menatap ke atas dengan mulut terbuka dan mengeluarkan suara kodok. Ia kembali muntah. Dan seekor kodok yang cukup besar keluar dari mulutnya bersamaan dengan cairan hitam yang kental.

Melda bergidik merinding melihat kodok sebesar itu yang keluar dari mulutnya dan terus mengeluarkan suara khas. Ia menggelengkan kepalanya dan mencoba berpikir kalau itu hanya halusinasi semata.

Namun, itu bukan halusinasi. Itu nyata.

Tiba-tiba terdengar suara cekikikan disusul dengan suara senandung nada yang menggema di seluruh ruangan.

Lalala lala lala lala lala.

Melda tampak ketakutan. Ia mengelap sisa muntahan di bibirnya lalu beranjak pergi, tapi langkahnya terhenti kala mendengar suara pintu dibuka.

Ternyata Syera yang datang. Ia masih memakai seragam SMA dan menenteng tasnya. Gadis itu melihat muntahan cairan hitam di lantai. Dan kodok besar yang terus mengeluarkan suara. Terlihat ekspresi keterkejutan dan ketakutan di wajah Syera, tapi ia berusaha memasang wajah tidak peduli.

"Kamu baru pulang? Kamu menginap di mana?" tanya Melda.

Syera tidak merespon. Ia berlalu menaiki tangga.

"Syera! Saya akan laporkan sikap kamu ke papa kamu," ancam Melda.

Syera mendelik kesal pada ibu tirinya. "Jangan pura-pura peduli. Biasanya juga saya tidur di tempat lain. Saya tidak senang tinggal di rumah ini."

•───────◐◑❁❁❁◐◑───────•

05.26 | 1 Januari 2022
By Ucu Irna Marhamah

MALEVOLENCEWhere stories live. Discover now