Part 27

16 1 0
                                    

•───────◐◑❁❁❁◐◑───────•

Suara wanita menangis sesegukan kembali terdengar. Semakin lama, napas wanita itu semakin tersengal-sengal. Selanjutnya terdengar suara tetesan air.

Melda bisa melihat kembali. Kedua matanya terlihat normal. Ia melihat sosok wanita bermata putih duduk di depannya. Rambutnya yang panjang menjuntai seorang menutupi tubuhnya sendiri.

Sosok wanita itu menatap ke arah Melda. Mulutnya mengucapkan sesuatu, tapi Melda tidak bisa mendengarnya. Dalam sekejap, sosok itu pun menghilang dan Melda jatuh pingsan.

❁ Flashback Off ❁

"Dan sekarang, saya tahu apa yang dia ucapkan..." Melda menggantung kalimatnya, "KAMU YANG MEMULAI SEMUA INI, MELDA!"

Lisma merinding mendengar cerita Melda. Meski ia skeptis terhadap hal-hal mistis, tapi tetap saja Lisma manusia normal yang akan ketakutan saat mendengarkan cerita horor.

Melda melanjutkan, "Tapi, saya tidak pernah membunuh Mbak Ranti. Mbak Ranti meninggal bukan karena saya, kenapa dia mengganggu saya, Mbah?"

"Apakah kamu yakin, Ranti yang mengganggu kamu? Bukankah kamarnya sudah dipaku dengan tiga belas paku?" tanya Kuncoro.

Melda terlihat khawatir. "Sebenarnya dua hari yang lalu... saya membuka pintunya. Karena saat itu saya memang belum ingat apa pun."

"Baiklah, aku akan mengusirnya agar tidak mengganggu kamu lagi." Kuncoro beranjak dari duduknya ia berlalu ke dalam ruangan lain.

"Kamu pernah ke sini sebelumnya?" tanya Lisma.

Melda mengangguk.

Lisma mengernyit. "Ngapain?"

Melda menjawab, "Mbah Kuncoro adalah pegangan keluargaku. Jadi, kalau ada apa-apa, aku atau keluargaku datang ke mari."

Kuncoro kembali sambil membawa nampan berisi sesajen dan vas berukuran sedang yang terbuat dari tanah liat.

Melda seolah mengerti. Ia menyingkirkan nampan berisi sesajen di meja. Kuncoro meletakkan sesajen yang dibawanya ke atas meja.

"Makan ini untuk perlindungan. Dia bisa saja merasuki salah satu dari kita," ucap Kuncoro sambil menyodorkan tiga piring berisi buah-buahan mirip sawo.

Melda mengambilnya dan memakannya tanpa ragu, begitu juga dengan Kuncoro. Sementara Lisma terlihat ragu. Tapi, pada akhirnya ia memakannya.

Ketika buah itu menyentuh lidahnya, Lisma menunjukkan ekspresi tidak enak. "Buah apa ini? Pahit sekali."

"Habiskan, kamu tidak mau kerasukan, kan?" sahut Melda.

Terpaksa Lisma menghabiskannya.

"Pegang vasnya," suruh Kuncoro.

Melda pun memegang vasnya.

Kuncoro membuka sebuah gulungan kertas kecil yang ternyata isinya adalah tanggal lahir seseorang.

Lisma mengernyit melihat itu. Ia melirik ke arah Melda.

Kuncoro memasukkan gulungan kertas itu ke dalam vas yang dipegang oleh Melda. Kuncoro membaca mantra sambil menaburkan bubuk ke wadah kemenyan yang dibakar. Asap kemenyan semakin banyak.

Lisma memundurkan wajahnya agar tidak terkena asap dari kemenyan tersebut.

Tiba-tiba asap kemenyan itu membentuk wajah menyeramkan.
Terdengar suara geraman.

Lisma beringsut mundur dan setengah menjerit, karena terkejut dan takut ketika melihat asap tersebut. Sebenarnya Melda juga ketakutan, tapi ia tetap bertahan memegang vas tanah liat.

MALEVOLENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang