Bab 1 Marah

985 86 60
                                    




"Dimana ruangannya?" tanya Azkal cemas. Kadua kaki panjangnya berjalan tergesa melewati lorong-lorong rumah sakit. Tak perlu ditanya bagaimana kondisi jiwanya kini, sebab dari sembabnya mata dan ekspresi wajahnya saja sudah jelas terbaca.

"Kamar 23 Komplek Melati, lantai 2," jawab Niswah adiknya. Ia mencoba mensejajarkan langkah Kakaknya, namun selalu tertinggal di belakang.

Sementara Abahnya tampak berjalan pelan, sendirian, jauh dari keduanya. Masih ada gurat-gurat amarah yang terpancar dari wajah teduhnya.

Azkal dan Niswah masuk lift, hanya berdua, lalu pintu tertutup dan lift berjalan pelan ke lantai dua.

"Kenapa lo baru ngasih tahu sih, Nis?" lagi, Azkal bertanya dengan nada bicara kesal.

"Lha, gimana gue mau ngasih tahu, Hp Abang mati kan? Semua nomor Abang nggak aktif. Setiap kali gue nanya ke temen-temen Abang, mereka pada bilang nggak tahu dan nggak jelas. Jangan-jangan Abang udah ngedoktrin mereka? Supaya..."

"Supaya apa?" potong Azkal balik bertanya cepat. Ia seperti tahu arah pembicaraan adiknya.

Niswah agak terkejut, ia merasa ada sesuatu yang di sembunyikan dari Kakaknya itu. Ia meneguk ludah. Menghela nafas berat dan menatap penuh selidik ke arah wajah Azkal yang kini tampak membuang muka. Ia menahan diri untuk bertanya lebih jauh perihal lelaki bertubuh atletis di sebelahnya itu. Terlebih jika melihat detail style-nya dari ujung rambut sampai ujung kakinya, yang mirip sekali Oppa-oppa boyband Korea.

Pintu lift terbuka. Keduanya kembali berjalan cepat sesuai petunjuk yang Niswah beri tahu.

"Terus kenapa lo tiba-tiba muncul di tempat itu? Sama Abah pula. Siapa sih yang ngasih tahu?" tanya Azkal dengan sesekali melirik Niswah.

Niswah berhenti. Azkal jadi ikut berhenti, bingung.

"Harus gue jawab sekarang, Bang? Gue rasa lebih penting Abang jawab pertanyaan gue deh, kenapa lima hari ini Abang nggak ada di rumah dan nggak bisa dihubungi. Yang menyebabkan Alif masuk rumah sakit," tegas Niswah kesal. Ia berjalan lebih cepat mendahului Azkal. Ada kesedihan yang kembali muncul, mengingat Adik kecilnya terbaring di rumah sakit baru-baru ini. Dan ia kesal dalam situasi seperti ini Kakaknya masih bertanya mengapa ia hadir tiba-tiba di tempat itu, yang seharusnya ia sadar sendiri atas perbuatannya.

Azkal mengejar, "Kok lo nyalahin gue sih? Sebenarnya apa sih yang terjadi sama Alif? Dari tadi di mobil, lo nggak mau cerita panjang lebar, sekarang juga. Dan lo ngejudge gue, semua itu salah gue? Gitu?" tanya Azkal, mulai kesal juga atas sikap adiknya. Kenapa Niswah tidak langsung bercerita panjang lebar saja, atas apa yang terjadi pada adik bungsunya, hal ini membuat ia semakin khawatir.

"Ceritanya panjang, Bang. Lo harus tahu dulu gimana kondisi Alif sekarang," jawab Niswah kekeuh.

Tak berapa lama keduanya sampai di ruangan yang dituju, komplek melati nomor 23. Niswah duluan masuk, disusul Azkal. Di ruangan itu tidak ada siapa-siapa selain sosok anak kecil yang terbaring kaku di atas kasur.

Sesampainya di dalam ruangan bercat putih itu. Lelaki jangkung berpakaian ala boyband Korea itu, langsung mendekati seorang anak laki-laki yang terbaring tak sadarkan diri. Sebagian kepalanya terbalut kain putih, ada bercak merah di kain tepat di keningnya. Wajahnya pucat-pasi dan selang infus tampak mengalir –menyambung lewat aliran darah dari pergelangan tangan kanannya.

"Lif, Alif. Bangun, Lif. Maafin Abang. Duh mengapa kamu jadi begini," ujar Azkal penuh penyesalan. Beberapa tetes air matanya jatuh. Sambil sesekali ia mencium pipi dan menggenggam erat tangan mungil adik bungsunya itu.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now