Bab 24 Sabetan Rotan

282 39 7
                                    

Selepas acara MATASABAR selesai, dihari-hari berikutnya, pengajian para santri baru sudah mulai terorganisir. Pengajian ashar dipimpin langsung oleh Ang Anwar, dengan kitab yang dikaji ialah kitab adab karangan Almaghfurlah KH. Muhammad Sanusi. Kemudian, pengajian bakda Maghrib yakni sorogan Alquran, pengajian bakda isyanya sorogan kitab kuning syafinatunnajah dan bakda subuh hafalan kitab fasholatan, yang berisi semua yang berkenaan dengan ibadah.

Sore itu Azkal kebagian piket kamar. Kondisi kamar 23 Makkah yang sebegitu kacaunya, harus ia benahi seorang diri. Dua orang teman sekamarnya yang juga kebagian piket hari itu, sudah melaksanakannya sesuai jadwal shifnya yang telah ditentukan.

Suasana kamar kosong, hanya tinggal Azkal sendiri yang masih sibuk membersihkan kamar. Sementara yang lain, dari sekian banyak santri lainnya sudah berdiam diri di masjid atau mengantri untuk wudhu. Sebab speaker masjid sudah bersuara keras, melantunkan murotal ayat-ayat Al-Qur'an. Juga para pengurus komplek dan keamanan dengan sigap tampak berkeliaran ke setiap titik mencari mangsa untuk melepas dahaga rotan-rotannya, Suara ketukan rotan-rotan itu, mengenai lantai dan tembok, serta teriakan berkode mereka serasa amat horor di telinga para santri, khususnya santri baru.

Tak jauh berbeda dengan kondisi pikiran Azkal. Lelaki pemilik iris mata hazel itu, tampak buru-buru menyapu dan mengepel lantai kamarnya.

"Dasar, begundal! Zorock! Nggak peka, nggak punya jiwa kebersihan. Bisanya ngotori aja. Uh!" umpat Azkal sambil menggosok-gosok kain pel ke lantai, menggunakan kakinya.

"Azkal, cepetan! Saya hitung nih, satu ...," teriak Kang Badru, salah satu pengurus komplek Makkah. Ia terlihat berkacak pinggang di depan pintu kamar Azkal, manampakkan raut wajah sebal.

"Bentaran dikit napah, Kang. Cerewet amat sih! Emang gue lagi ngopi, ha!" balas Azkal tak kalah kerasnya, dengan nada kesal. Ia mendelik tajam, sesaat pada Kang Badru.

"Gue, gue. Nggak ada bahasa gue, elo, elo. Di pondok tuh. Pake bahasa Indonesia yang baik dan benar. Syukur-syukur pakai bahasa jawa kromo," lagi, Kang Bandu mengomel. Ia kini berdiri menyenderkan punggungnya ke pintu kamar 23 itu.

Azkal hanya mendesis, "Aissshh ... Sejak kapan bahasa banmal. Haram digunakan? Serah gue dong," lirih Azkal hampir tak terdengar. Hanya ekspresi wajahnya saja yang terlihat tak bersahabat. Pokoknya sudah jadi makanan sore-sore deh, siapa saja yang kebagian piket sore. Pasti akan bertemu si mulut cerewet bernama Kang Badru itu.

Seketika, Kang Badru memukul rotannya ke lemari. Dan sontak membuat Azkal kaget, ia terperanjat.

"Hei! Diomelin kok diem-diem Bae. Jawab!"

Azkal menghadap lelaki kurus itu, merasa aneh, "Apanya yang harus aku jawab, Kang? Nggak ada pertanyaan ih," timpal Azkal.

"Ya, setidaknya respon dikit lah. Apa ta, apa kek. Jangan di kacangin!" sungut Kang Badru memasang wajah so cool.

"Iya, deh iya. Manja banget," lirih Azkal sambil mulai meneruskan pekerjaannya yang belum selesai juga.

Kali ini Kang Badru mendengar umpatan Azkal, "Apa tadi kamu bilang?"

"Nggak. Nggak, gue tahu maksudnya," Azkal serba salah.

Kang Badru menghela napas berat, "Gue lagi bilangnya."

"Iya, iya. Aku maksudnya, Kang," gemas Azkal. Mengahadapi orang macam ini memang harus ekstra sabar. Kalau tidak mau kemakan emosi.

Kang Badru malah nyengir, tertawa kecil, "Hehe. Gitu dong, kedengarannya kan enak."

"Iya, iya. Ya Allah, Kang Badru. Demi si Hery, si dekil and the kumel yang nggak mungkin jadi mirip Chanyeol. Please, jangan ganggu aku lah. Nggak selesai-selesai nih piketnya, ganggu mulu ih," teriak Azkal kesal seraya melemparkan pelan di tangannya sembarangan. Ia tak mau kalah, ia berkacak pinggang juga menghadap ke Kang Badru dengan sorot mata tajam.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Onde histórias criam vida. Descubra agora