Bab 20 Amjad

269 40 13
                                    

Lelaki pemilik senyuman manis itu tampak dikerubungi dua orang perempuan berjilbab rapat dan dua lelaki lainnya. Mereka duduk di bangku depan kompleks perkantinan. Sebuah meja bundar berada di tengah-tengah mereka, di atasnya ada sebuah kamus tebal bertuliskan At-Taufiq, tiga kitab kuning berukuran tebal dan masing-masing memegang buku dan pulpen. Dua orang perempuan berjilbab duduk agak menjauh, sementara di depannya terlihat dua orang lelaki begitu serius mendengarkan seorang lelaki di antara mereka, yang tengah menjelaskan sebuah materi ilmu nahwu dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik yang ada di hadapannya.

Jika dilihat dari kejauhan, semua orang pasti bakal mengira lelaki itu termasuk dalam kategori lelaki langka. Ya, langka dengan segudang prestasinya. Bukan hanya cerdas dalam ilmu umum, tapi juga ilmu agamanya, benar-benar luar biasa. Dari penampilannya saja sudah tak bisa diragukan; kedua alisnya cukup tebal, satu lesung pipit menghiasi pipi kirinya, bibirnya tipis berwarna merah muda, kontras sekali dengan kulit putih nan bersih wajahnya, juga hidungnya cukup mancung seperti memiliki keturunan arab. So perfect! Sungguh perfect memang, ya, ia menjadi primadona di atmosfer MAN Kebon Bambu.

"Sampai di sini, sudah paham?" tanya lelaki itu mengakhiri penjelasannya.

Keempat temannya menjawab serempak, "Ya, paham."

"Alhamdulillah, aku jadi nggak bingung lagi soal elat-elat isim ghoiru munsorif. Syukron jiddan, Kang Amjad," ucap lelaki berpeci agak miring itu.

"Banyak materi tambahan kan, di kitab Alfiyah mah. Pokoknya kalo kalian bingung, sampai otaknya mau meledak soal all about materi nahwu, khususnya Alfiyah. Hubungi aku! Dan aku bakalan pertemukan sama guru besar kita, Kang Amjad Nailul Nabham," cerocos lelaki satunya lagi, seraya bergaya percaya diri layaknya tukang obat di pinggir jalan.

Si orang yang dibicarakan hanya geleng-geleng kepala dan tertawa kecil. Ia mendecak, "Ah, apaan, berlebihan kau!" elak Amjad agak malu, apalagi berhadapan dengan dua perempuan yang juga tampak malu-malu, sedari tadi saat ia menjelaskan kedua perempuan itu jarang terlihat melirik ke arahnya. Ia tahu betul itu.

"Ya sudah, kalau begitu, kami pamit, ya, Kang. Jazakallah, udah bantu ngasih penjelasan materi yang selama membuat kami bingung," kata perempuan berkacamata sambil bangkit dari duduknya.

"Oh, iya, sama-sama. Semoga paham, ya, good luck sama musabaqohnya. Eh, minggu depan kan, ya?" tanya Amjad basa-basi.

Perempuan satunya menjawab, masih setia menunduk. Ia mengangguk pelan. "Iya, Insya Allah. Mohon doanya, Kak."

"Iya, pastinya. Pokoknya proses nggak akan mengkhianati hasil kok. Kalau sekarang bener-bener, ya, hasilnya juga akan bener-bener. Hehe ...," ujar Amjad tersenyum, semakin menambah ketampanan aura kalemnya. "Nayla ikut dicabang apa?"

"Saya ikut cabang Fathul Ghorib," jawab perempuan bernama Nayla.

Amjad melirik ke arah perempuan satunya, yang membuat perempuan berbadge nama Nida itu ikut menjawab, "Saya cabang Fathul Mu'in, Kang."

"Bareng Syahrul berarti?" Amjad melirik ke arah lelaki sebelah kanannya.

Syahrul mengganguk. "Iya, kita jadi musuhan, Kang. Hehe ...."

"Hus! Bukan musuh, rival kali," timpal Nida tertawa kecil.

"Ya, podo bae."

Amjad tersenyum lagi, "Ya, pokoknya good luck. Semoga semuanya berhasil dan juara," katanya mengakhiri topik di detik-detik akhir jam istirahat itu.

"Amiiinn ...."

Lima detik berikutnya, ketiga adik kelas Amjad itu beringsut pergi. Hanya menyisakan dirinya dan teman dekat sekaligus partner setianya, Fadhil namanya.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now