Bab 2 Flashback

748 84 52
                                    


Azkal menatap wajahnya di cermin. Makeup bekas penampilannya di panggung beberapa jam yang lalu masih tersisa, meski terlihat kacau. Perlahan Azkal membersihkannya dengan cairan pembersih dan kapas. Hingga benar-benar terlihat kembali wajah naturalnya.

Baru beberapa detik berjalan, Azkal menghela nafas berat. Memori kepalanya kembali terganggu oleh perkataan Abah saat itu.

"...Abah nggak nyangka sama kamu. Kok anak macam kamu, yang Ayahnya punya Madrasah, majelis, hobinya joget-joget kayak di TV itu lho, Bun. Lihat saja coba Bun penampilannya, rambutnya warna coklat kemerahan, wajahnya dimakeup, pakaian. Innalilahi, kamu nggak malu, Zal?"

Azkal mendesah berat. Matanya ia pejamkan agak lama. Seperti meresapi kekalutan perasaannya kini. Sebenarnya, sudut hatinya menjawab pilu, demikian.

"Nggak, Bah. Azkal nggak malu. Rasa malu itu sudah sirna, terkubur oleh sebuah alasan yang sulit diungkapkan. Terlalu rumit dan hanya Azkal yang merasakannya."

Azkal kembali meneruskan membersihkan wajahnya. Setelah selesai, ia masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian.

Keluar dari kamar mandi ia hanya memakai cenala renang -pendek. Ia mematut lagi di depan cermin panjang nan lebar itu. Memperhatikan tubuh putih –atletisnya. Tampak menyerupai model-model susu L-Men di tv, dengan dada bidang, perutnya membentuk roti sobek dan otot lengannya yang kekar. Sungguh ideal memang tubuhnya itu, sangat beruntung walau umurnya masih tujuh belas tahunan.

Azkal mengusap wajahnya tiga kali dengan air di westafel. Lagi, telinganya seperti memutar ulang perkataan Abah panjang lebar itu.

"...Sekarang Abah mau tanya, apa tujuanmu melakukan kegiatan itu, joget-joget macam itu? Terus ikut komunitas mereka juga? Abah mau denger, coba jawab!"

Azkal memejamkan kedua matanya lagi. Kedua tangannya memegang sisi westafel –agak keras. Seperti menahan emosi di dalam dadanya.

Sebenarnya, hatinya memberontak. Jika saja yang bertanya itu bukanlah Abah, mungkin kepalan tangannya sudah melayang di udara. Bersama emosi dan kekesalan yang merongrong jiwa.

Semacam ada yang berteriak, di sudut hatinya, entah sebelah mana, "Cukup! Nggak usah bertanya sejauh itu. Abah nggak tahu, tidak, bukan hanya Abah. Semua orang nggak ada yang tahu. Kecuali aku dan aku nggak akan pernah menjawabnya, karena jawabannya. Sungguh menyakitkan!"

Perlahan ujung mata sebelah kanannya menghangat. Satu tetes air matanya jatuh. Ia cepat-cepat menyekanya, sebelum sebuah peristiwa memilukan masa lalu itu tiba-tiba muncul, yang memiliki kaitannya dengan jawaban dari pertanyaan terakhir Abah itu.

Azkal keluar ruangan, langkah tegapnya menuju halaman belakang rumah. Ia berhenti dan berdiri di tepian kolam renang. Ia menatap riak air berwarna biru tua itu, ada beberapa cahaya yang menyorot di dasar kolam.

Suasana di sekelilingnya sepi, hanya ia seorang. Mungkin semuanya masih berada di rumah sakit, menemani Alif.

Usai melakukan pergerakan ringan pada tubuhnya. Kemudian dalam hitungan detik tubuhnya meluncur cepat ke dalam air, bak seekor lumba-lumba yang meloncat-loncat ke udara di laut lepas.

Azkal membiarkan tubuhnya terselimuti dinginnya air kolam. Kini, ia tampak terlentang di atas air. Hanya sebagian wajah dan bagian atas tubuhnya yang mengambang. Tubuhnya rileks, sambil memejamkan mata erat-erat. Sementara fikirannya entah tengah berkelana kemana, yang pasti masih ada denyar kekalutan, disana.

Sebuah kebiasaan yang akan selalu ia lakukan tatkala jiwanya kacau, selain menghadap, bersujud dalam sholat panjangnya.

Untuk bermenit-menit lamanya, tubuhnya masih mengambang layaknya sosok mayat membeku.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now