Bab 55 Prahara

150 17 2
                                    

Brakkk ...

Suara buku dihempas ke atas meja, menyentak seluruh insan yang hadir di kantor pendidikan itu, selepas pengajian bakda magrib. Mereka terkejut. Sebab baru kali ini menyaksikan ketua pendidikan –Kang Habib melampiaskan kemarahannya.

Ketiga santri yang dipanggil itu berdiri berjejer, di depan meja tempat Kang Habib berada. Mereka menunduk dalam. Tak berani menenggakkan wajah barang satu sentipun. Karena tidak biasanya ketika santri alpa setoran muhafadzoh akan dipanggil sampai tercium bau-bau kabar menyeramkan.

"Kenapa kalian nggak setoran muhafadzoh?" tanya Kang Habib to the point bernada dingin. Ekor matanya melirik sengit kepada ketiga santri itu.

"Belum hafal? Atau ...."

Kang Habib menggantungkan ucapannya. Satu detik kemudian ia melanjutkan, "malas?"

Diam. Ketiga santri itu diam membisu, mengunci mulutnya rapat-rapat.

Kang Habib menghela napas panjang. "Kalian tuh sudah dikasih kemudahan. Dengan adanya setoran harian itu, ya, supaya ketika malam selasa bisa setor hafalan dengan mudah. Terus gunanya qobliyahan, sambil nyanyi dan gendang-gendangan juga buat apa? Ya, supaya hafalan kalian lancar. Dan target ditingkat tiga hafal 500 nadzom alfiyah bisa tercapai. Berharap ditahun ke empat kalian bisa khatam betul 1002 nadzom. Syukur-syukur bulak-balik. Kemudian ikut syukuran khataman Alfiyahnya pula. Dan endingnya khusnul khatimah. Begitu."

Lagi, mereka bungkam. Tidak berani membantah. Sebab mereka paham betul bagaimana adab seorang santri kepada gurunya, terutama di saat situasi seperti ini. Maka mereka memilih untuk bungkam, sebelum sang guru menyuruh mereka menjawab.

Kang Habib memperbaharui letak duduknya. Menumpu kedua siku di atas meja dan memandang tajam satu persatu ketiga santri di depannya.

"Kalian pernah berpikir nggak sih? Waktu yang telah Allah kasih selama 24 jam dalam sehari, kalian gunakan buat apa saja, ha? Masa nggak ada sedikitpun waktu barang satu menit pun untuk menghafal. Minimal satu nadzom lah. Keterlaluan sekali itu namanya."

Hening seketika. Hanya terdengar percakapan samar beberapa ustad di ruangan pendidikan itu.

Kang Habib mulai mengintrogasi santri bernama Maftuh dan Qusaer. Mereka menjawab dengan lugas. Yang satu alpa karena sakit tanpa memberitahu siapapun. Dan yang satunya lagi berasalan pulang, sama, tanpa memberikan pesan minimal kepada temannya. Kemudian kedua santri itu langsung berhadapan dengan Kang Syukron, menerima pukulan rotan sebanyak lima kali, cukup keras dan mampu menumbuhkan efek jera.

Kini tinggal menyisakan si rekor alpa terbanyak.

Kang Habib bertanya, "Kenapa kamu nggak setoran, Azkal?"

Lelaki bermata hazel itu diam. Ia bingung mau menjelaskan bagaimana. Ia sendiri selama ini tidak sadar, kenapa bisa-bisanya ia menyepelekan hafalan. Benaknya selalu bilang, nanti, nanti dan nanti. Sampai akhirnya ia tidak mempersiapkannya sama sekali. Bahkan untuk setoran harian pun selalu absen.

Sungguh, Azkal seperti kehilangan jiwa yang sesungguhnya. Lenyap. Entah kemana, yang ada ialah jiwa lain, yang sama sekali tak dikenali.

"Setoran harian selalu absen. Dan sudah tiga kali berturut-turut kamu nggak setoran muhafadzoh malam Selasa. Kemana saja sih kamu? Ha?" tanya Kang Habib lagi dengan oktaf nada kian meninggi. Aura sangar semakin terasa mencekam lewat pembawaannya yang tak biasa itu.

"Mau kamu apa, sih, Azkal?"

Tak ada jawaban. Azkal masih bungkam. Kalau pun dipaksa, ia sendiri bingung hendak menjawab dengan dalih apa. Sebab, hal ini memang murni kesalahannya. Ya, kemalasannya yang entah berlandasakan apa.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ