Bab 57 Surat Balasan

131 13 6
                                    

Surat balasan ke-150

Assalamu'alaikum wr. wb.

Semoga Allah senantiasa memberikan engkau perlindungan, kesehatan dan keberkahan yang tiada tara. Shalawat dan salam senantiasa mengucur deras kepada Baginda Nabi Muhammad Saw –sang khotamul ambiya.

Wahai lelaki yang lembut hatinya.

Entah sudah berapa banyak untaian kata-kata yang kutulis di setiap lembar surat balasanmu, Kang. Sampai detik ini, sampai menginjak surat balasan ke 150. Perasaanku padamu masih sama, dengungan rindu merenggut jiwaku tiap saat dan denyar-denyar cinta pun masih mengalun merdu di tiap napas berhembus. Apalagi tatkala sebentuk wajah tampan, namun dingin berhenti melintas di memori kepala. Aku pasti akan bingung, Kang, antara mau mengucap tasbih ataukah istighfar. Yang pasti aku menikmati suguhan Tuhan Seru Sekalian Alam tersebut.

Kang Amjad.

Namun perlahan-lahan, entah keberadaannya pada rak-rak hati sebelah mana. Mendadak aku goyah. Ada kecamuk tak bersahabat di sana, Kang. Tepatnya usai surat ke 149 lalu mendarat syahdu di telapak tanganku. Aku kurang begitu suka saat engkau mengatakan;

Aku tidak boleh menyukai sosok Adam yang lain. Apalagi yang mampu menciptakan tunas-tunas cinta.

Juga saat engkau bilang;

Aku tidak boleh terlalu bersahabat dengan Kang Azkal.

Kenapa engkau melarang demikian, Kang? Kenapa tidak boleh? Bukankah kita berdua tak memiliki hubungan spesial? Maksudnya kita belum secara resmi ada ikatan untuk saling menjaga, Kang.

Ya, memang kita saling menyukai satu sama lain. Kedua orangtua kita pun sudah saling mengenal. Tapi hanya sebatas teman dan atau senior kepada juniornya. Dan kita pernah sepakat kan sebelum ada kesempatan bebas untuk melampiaskan rasa cinta yang tumbuh kian subur di hati, kita masih saling lepas satu sama lain.

Jadi engkau bilang begitu seakan-akan kita sudah menandatangani di atas kertas suci, bahwa kita sudah terikat dalam tali pertunangan atau sejenisnya. Maka harus saling mengeratkan. Padahal sejatinya belum kan?

Sehingga aku merasa dikekang. Karena sebenarnya aku masih berhak menyukai sosok Adam yang lain. Bahkan menciptakan tunas-tunas cinta yang lain. Iya, bukan?

Jika aku perempuan yang tak punya hati, maka aku akan mengambil kesempatan di depan mata. Kang Azkal menyukaiku, bahkan mengungkapkan cintanya begitu lugu. Aku pun menyukainya. Dan mungkin lama-kelamaan rasa suka tersebut akan bertunas menjadi benih-benih cinta.

Tapi aku bukan perempuan seperti itu, Kang. Aku masih menyimpan rasa suka dan benih-benih cintaku padamu, Kang. Jadi engkau tak perlu takut ataupun ragu. Hingga melarang aku untuk melakukan ini dan itu. Dan mungkin akan beda ceritanya ketika sikapmu masih terus seperti itu. Langit, bumi serta seisinya pun pasti paham, akan dikatakan wajar bukan ketika aku lebih memilih mengambil langkah maju, meraih taburan benih cinta Kang Azkal?

Semoga Allah senantiasa menanam keyakinan di dasar hatimu, Kang. Hingga engkau paham, apa yang harus dilakukan dan tak perlu dilakukan.

Dari yang mencintaimu dalam diam,

Aina Hunafa Qudsi.

***

Amjad baru saja selesai mandi. Sudah dalam balutan sarung, kaos putih polos dan rambut membasah. Keluar dari pintu ruangan kamar mandi, ia curiga saat melihat sebuah tangan terlihat menaruh cepat-cepat kitabnya yang tergeletak di atas pagar dekat kamar mandi.

Lelaki itu buru-buru mengecek dan membuka-buka lembaran kitabnya. Ia tak menemukan potongan surat berwarna merah jambu yang ia selipkan di sana. Pikirannya langsung berproses, lalu stuck di sebuah nama yang baru-baru ini ia jauhi. Azkal.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum