Bab 23 Usil

297 46 10
                                    

Kelima santri dari kelompok dua puluh itu kembali meneruskan perjalanan, usai menemukan petunjuk pertama di perbatasan pekuburan dengan sungai kecil –pos bayangan tulisannya.

Semakin menerobos hutan, atau istilah di sininya ialah kebon. Semakin gelap dan rimbun jalan setapak yang mereka lalui. Semak belukar, pepohonan besar menjulang tinggi nan hitam serta suara-suara hewan malam ialah pemandangan di setiap kaki melangkah. Meski ada bantuan cahaya lilin, yang mereka ambil di pos bayangan, berdasarkan perintah yang tertulis di sana, tapi tetap saja kegelapan menyelimuti terlalu pekat untuk di lalui.

Tentu, aura horor kembali terasa mencekam. Mereka seolah-olah tengah melakukan aksi horor sungguhan dalam dunia nyata. Mulut mereka saling menutup, tak mau bicara satu katapun. Sosok berbadan ideal semacam Azkal pun ternyata KO juga, tatkala menghadapi situasi seperti ini.

"Pokoknya kita harus bersama-sama. Nggak boleh berpencar, ketinggalan atau malah nambah satu," ujar Adieb mencoba merusak keheningan.

Tanaya heran. "Ha? Nambah satu? Maksud lo?" Ia bingung.

"Iya, misal, tiba-tiba di belakang Ilham ada Ilham lagi. Nambah satu, dua, tiga, empat. Atau ada sosok yang nggak kita kenal, ikut di belakang rombongan kita," jawab Adieb sambil melirik ke belakang. Ke Ilham yang berjalan paling belakang.

Mikel menyahut cepat, seperti menemukan menemukan mukjizat dari langit, "Ah, gue tahu, gue tahu," serunya tampak girang.

"Apaan?" tanya Tanaya bingung.

"Maksud Adieb itu, si Ilham bisa ngeluarin jurus kage Bunshun no jutsu. Jadi nanti kelompok kita anggotanya tambah banyak dan itu hukumnya haram," jawab Mikel polos.

"Lo kira najis mugholadzoh apa. Yah, ini nih yang namanya korban Naruto. Otaknya halu mulu isinya." Tanaya mendesis sebal.

Mikel menoleh ke belakang, tepat Ilham berada di belakangnya. "Coba deh, gue tanya dulu ke si Ilham. Ham, bener nggak sih ham lo punya jurus kage Bunshun no jutsu?

Ilham bingung, ekspresi wajahnya datar, "Ha? Aku?"

Keributan mereka mendadak hilang, saat tiba-tiba Azkal berhenti melangkah. Api lilin yang di pegangnya bergoyang-goyang. Keempat temannya heran, sekaligus khawatir.

"Sebentar, Guys...," kata Azkal serius. Sejatinya memang ia sedang serius. Ia ragu terhadap jalan setapak yang dilaluinya. Seperti salah arah, karena tak jauh di depannya terdengar bunyi air mengalir, semacam sungai kecil. Tapi tak ada dalam petunjuk sebelumnya.

"Kenapa, Kal? Kok berhenti?" tanya Adieb tak mengerti.

Azkal membalikkan tubuhnya menghadap ke teman-temannya, "Kayaknya kita salah jalan deh," ucap Azkal tanpa pikir panjang.

"Seriusan? Terus gimana dong? Huhu... Gue takut nih," keluh Tanaya khawatir. Matanya melirik ke samping kanan-kirinya yang terlihat semakin menyeramkan pemandangan pepohonan menggelap dengan dauh rimbun, melambai-lambai terasa membangkitkan bulu kuduknya.

"Seandainya gue punya jurus Hiraishin no jutsu. Pasti gue bakal selametin lo, lo, pada. Keluar dari zona serem kayak gini. Huh!" cerocos Mikel menghela napas panjangnya. "Eh, gue nyoba dulu deh. Barangkali buyut-buyut gue, dulu, punya keturunan sama Minato Namikaze."

"Terserah lo deh. Peduli amat!" sergah Tanaya sengit dan membuang muka ke depan. Ia heran dalam kondisi seperti ini. Mikel masih saja jadi korban Manga Naruto, kan nggak lucu.

Mendengarnya, Mikel cemberut.

"Terus kita harus gimana sekarang? Masa balik lagi? Tanggung, Kal," kata Adieb.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang