Bab 52 Si Botak

162 16 0
                                    

Gadis bermukena putih itu tergopoh-gopoh, berlari ke arah pintu yang menghubungkan area pondok putra. Ia ketakutan. Ia butuh pertolongan. Entah siapa saja dari kaum Adam pokoknya harus berani menghadapi sosok kepala botak itu dan mengusirnya jauh-jauh sebelum banyak santriwati yang memergokinya atau justru berujung hal-hal buruk lainnya.

"Kang ... Kang ... Sini, Kang!" teriak Aina tertahan namun berusaha ia tampilkan ekspresi ketakutan seraya melambai-lambaikan tangannya, meminta segerombolan santri putra yang lagi asik-asiknya berkerumun di depan perapian.

Seorang diantara mereka melihat tanda pertolongan itu. Ia langsung sigap, bangkit. Dua diantaranya ikut mendekati sang gadis.

"Ada apa, Mbak?" tanya Iwan cemas.

"I ... Iiitu, a ... Ada orang di bak sampah putri, Kang," jawab Aina gugup bercampur nada-nada cemas. Pikirannya dalam kondisi kalut, tidak memungkinkan untuk menjelaskan detail apa yang tengah terjadi. Lebih baik langsung menunjukkannya ke TKP.

Tak mau berlama-lama lagi. Dengan menggunakan isyarat, Aina meminta ketiga orang santri putra yang kebetulan masih terjaga itu untuk mengikutinya. Diikuti seorang santriwati tadi, ia mengekor di belakang Aina.

Ketiga santri putra itu manut. Satu orang dari mereka terlihat sangat cemas. Terlihat dari kedua sorot mata elangnya yang berbeda dari kebanyakan orang, walau wajahnya tertutupi oleh masker hitam serta tudung sweaternya menutupi seluruh kepala. Ia seperti mengetahui apa yang tengah terjadi. Sehingga ia memutuskan berjalan lebih dulu, tepat di samping gadis bermukena putih itu.

Sesampainya di TKP Aina menunjuk-nunjuk ke arah bak sampah. Ia sendiri tak berani mendekat. Membiarkan ketiga santri putra yang maju dengan langkah mengendap-endap. Sudah layaknya sekelompok polisi yang hendak mengepung sang target penjahat di depan zona pencarian.

Si santri bermasker melangkah paling depan, dengan sebuah senter siap ia sorotkan. Dan satu diantara kedua santri lainya sudah siap siaga memegang balok kayu.

Tap ... Tap ... Tap ...

Suasana mendadak hening. Hanya terdengar derap langkah pelan, suara hewan-hewan malam serta detak jantung kelima insan itu yang berpacu amat cepat. Ya, mereka mengulum cemas yang berbungkus ketakutan menggila.

Dan detik yang ditunggu-tunggu pun tiba. Yakni tatkala ketiga santri putra itu melongok ke bak sampah gelap gulita di depannya. Sorot cahaya senter hanya menampakkan tumpukan sampah-sampah saja. Tidak ada sosok kepala botak yang dimaksud. Sungguh. Padahal balok kayu sudah melayang di udara.

Lantas helaan napas keras-keras terdengar di detik berikutnya. Aina menyaksikan adegan zonk tersebut. Ia jadi terheran-heran.

"Ada kan, Kang?" tanyanya masih belum percaya.

Iwan mendesah berat, lalu mengendikkan kedua bahunya. "Nggak ada, Mbak. Nggak ada siapa-siapa. Cuma sampah-sampah aja yang kelihatan."

"Masa sih?"

"Sok aja kalau nggak percaya."

Aina belum sepenuhnya yakin. Sebab jelas sekali ketika itu ia dan si santriwati –bernama Fida, memergoki sosok kepala botak itu, tepat di antara tumpukan sampah. Terdengar suara tawa menyeramkannya pula. Kenapa pas dicek sekarang sosok itu tidak ada?

Aina berani maju ke depan. Ia mengangkat juntaian rok mukenanya. Kemudian perlahan kepalanya melongok ke bak sampah seraya menyorot-nyoroti cahaya senter ke tiap jengkal bak sampah. Benar, tidak ada siapa-siapa. Ia coba lagi menyoroti ke pagar tinggi sebelah utara, yang bersebelahan dengan bak sampah. Tetap saja, nihil.

Aina mendecak, kesal. "Kok nggak ada sih?"

"Sudah kabur kali, Mbak," ujar santri berbadan agak kecil.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang