Bab 33 Jin

231 29 2
                                    

Malam itu lapangan Pondok Kebon Bambu disesaki para santri yang hendak menonton penghakiman terakhir barang-barang raziaan. Di tengah-tengah lapangan beberapa pengurus mengawasi dua orang pengurus keamanan laksana algojo menakutkan. Berbagai benda semacam handphone, charger, haedset dan aksesoris-aksesoris lainnya teronggok bisu, berserakan, ya, tinggal menunggu hitungan detik saja menuju sidang pemusnahan.

Sudah menjadi peraturan dan tradisi pondok dari dulu. Razia masal selalu diadakan sembunyi-sembunyi. Biasanya ketika suasana komplek sepi tanpa santri, maka pengurus komplek mulai berkeliling merazia apapun benda yang tak layak dibawa oleh seorang santri. Alhasil bagi mereka yang melanggar dengan membawa barang-barang haram, lantas ketahuan. So, pasti Sang Perazia tak segan-segan akan mengambil dan mengeksekusinya.

Suara seorang pengurus masih terdengar memecah malam, "Sekali lagi! Saksikanlah aksi pengeksekusian barang razia. Inilah akibatnya bagi kalian yang melanggar membawa barang-barang yang tak selayaknya seorang santri bawa."

Para santri yang menyaksikan berseru ribut, "Huuuuuuuuu ...."

Di sana, Tanaya berusaha menyerobot kerumunan sambil mengulum perasaan cemas berlebih. Ia penasaran akan barang-barang apa saja yang dirazia. Sebab usai pengajian tafsir munir, aksesoris berupa dua buah gelang coupleannya raib.

Bola matanya melotot saat pandangannya menubruk pada seonggok dua benda miliknya, yang bercampur dengan aksesoris-aksesoris lainnya. Apalagi dilihatnya, di sana ada palu berukuran besar, korek api dan minyak tanah. Yang barang tentu akan menjadi senjata pemusnahan.

Tanaya keluar dari kerumunan, menghadap Mikel, Adieb dan Ilham yang hanya melihat saja tanpa ikut desak-desakan.

"Guys! Gawat, guys. Gawaaaaat!" seru Tanaya menampakkan wajah cemas dan berekspresi agak lebay.

Mikel menanggapi serius. "Kenapa-kenapa? Ada apa? Lo butuh napas buatan? Atau ada ginjal lo yang kerazia?" tanya Mikel sok kaget.

Tanaya mendesis, "Apaan sih lo? Bege mulu jadi orang," kesal Tanaya, lagi tiap kali menghadapi sosok Mikel.

"Ya, kali aja ...."

Cepat-cepat Adieb mengalihkan pembicaraan, "Barang kamu kerazia?"

"Hooh," aku Tanaya mengangguk lemas. Ekor matanya melirik nanar pemandangan di depannya.

"Apa yang dirazia?"

"Gelang couple gue, Dieb. Yang rencananya pulang liburan gue kasih ke pacar gue," jawab Tanaya masih merenggut kecewa. Ia mulai mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk, berlagak gusar.

"Oh, cuma gelang. Beli lagi aja," celetuk Mikel enteng seraya merekatkan jaket di tubuhnya. Hawa malam ini semakin dingin dari waktu ke waktu.

Tanaya mengepalkan kedua telapak tangannya. Gemas. "Hello, Mikel. Please, deh, masalahnya itu limited edition. Nothing again in this world. Last year itu gue beli pas ke Borobudur," elaknya tak terima.

"Berarti gelang lo itu udah jadul." Lagi Mikel nyeletuk membuat Tanaya semakin kesal.

Tanaya memukul kecil kepala Mikel, "Serah lo deh. Bodoh amat." Ia bergidik. Rasa-rasanya lebih baik deh ngomong sama Si Luppy, kucing peliharaannya di rumah ketimbang sama lelaki pemilik hidung mancung berkali-kali lipat itu.

Seketika Ilham nimbrung obrolan, "Emang boleh santri di sini punya pacar?" Seperti biasa Ilham akan berekspresi wajah datar tiap kali ngomong. Kan agak gimana gitu, seperti sedang ngomong sama robot manusia saja.

"Haram, Ilham. Haraaam. Noh, Tanaya, Ilham ngingetin. Santri itu nggak boleh pacaran," singgung Mikel sambil menunjuk-nunjuk Tanaya lewat dagunya.

Tanaya menelan ludah berat, menatap Ilham tak enak. Ia sedikit menegakkan wajahnya, berlagak masa bodoh. "Aku nggak pacaran kok. Sueeer ...," timpal Tanaya dengan nada tak jelas.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now