Bab 60 Pulang

202 14 3
                                    

Kelima santri itu menunggu di depan ruang UGD. Mereka frustasi. Mereka menyesalkan apa yang telah terjadi. Pun mereka tidak tahu harus melakukan apa lagi selain berdoa berulang-ulang kali, memohon kepada Allah supaya Dia menyelamatkan hidup teman mereka –Icham

Azkal berjalan bulak-balik dengan wajah kusut masai. Tanaya terduduk di kursi menutup seluruh wajahnya. Ilham duduk di sampingnya, tampak gusar sambil mengigit kuku-kukunya. Mikel memeluk lututnya di lantai, kepalanya menunduk, menyembunyikan isak tangis. Sementara Adieb berdiri di depan pintu UGD, memperhatikan pintu itu dengan tatapan penuh kecemasan.

Tak berapa lama pintu tersebut terbuka, seorang dokter berserta beberapa perawat keluar. Kelima santri itu langsung menyerbu, memberondong banyak pertanyaan.

"Gimana kondisi teman saya, Dok?" tanya Adieb.

Azkal ikut bertanya, "Dia baik-baik saja kan, Dok?"

"Kecelakaannya nggak parah kan, Dok? Dia nggak papa kan, Dok?" Mikel tampak masih menahan tangisnya.

Untuk beberapa saat sang dokter menatap wajah-wajah anak remaja di depannya, dengan pandangan kasihan nan iba. Entah, ia harus menjelaskan bagaimana supaya mereka tidak khawatir ataupun menangis sedih.

Sang dokter menghela napas panjang. Ada gelagat pertanda buruk yang Azkal temukan di sana. Maka detik berikutnya kenyataan buruk pun terungkap.

Dokter itu menggeleng kepala pelan sekali seraya mengucap, "Maaf, teman kalian tidak bisa kami tolong."

Deg.

Waktu seakan berhenti berputar. Dinding-dinding rumah sakit seolah menghimpit tubuh kelima santri itu. Pun ucapan sang dokter seperti ribuan anak panah yang menancap di ulu hati mereka sampai hancur berkeping-keping.

Adieb berbalik badan, menangis. Ilham terduduk lemas. Mikel langsung berteriak histeris, "Ichaaaaaaammm ...."

"Apa yang dokter bilang, itu tuh salah kan? Dokter bohong kan? Dokter cuma bercanda kan? Iya, kan? Temanku baik-baik saja kan?" tanya Azkal. Isak tangisnya mulai terdengar pilu. Ia menarik-narik lengan baju sang dokter. Sungguh ia tidak percaya ucapannya.

Lalu Azkal berteriak memekakkan telinga seraya menarik krah baju sang dokter, "Bilang padaku, Dok, kalau Icham baik-baik saja! Bilang Doker!"

Sang dokter diam saja. Begitupun beberapa perawat di belakangnya. Wajah-wajah mereka tampak sendu. Azkal melihat itu.

Di belakang mereka, Tanaya menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia pun tak percaya, sungguh, "Nggak. Nggak mungkin," lirihnya terdengar tertawa bercampur tangis. "Nggak mungkin benget kalo Icham udah nggak ada. Gue nggak percaya."

Kemudian lelaki itu berbalik badan, lantas ia berlari pergi menyembunyikan tangisnya. Mikel cepet-cepet menyusul. Kali ini ia geram, sebab ia ingat orang yang pertama klai menyetujui saran Icham ialah Tanaya.

"Tanaya berhenti!" teriak Mikel sesampainya di punggung jalan rumah sakit, ia menyusul langkah Tanaya, tak peduli guyuran air hujan di malam hari terasa menusuk pori-pori kulitnya.

Tanaya berhenti. Mikel langsung menarik krah kemejanya. Lalu berteriak marah, "Lo mau kemana? Lo jangan jadi pengecut, Tanaya. Semua ini gara-gara lo, Tan, gara-gara sikap lo yang gegabah."

Tanaya pasrah. Tubuh, hati dan pikirannya sudah lemas. Ia biarkan Mikel memaki-makinya. Ia biarkan tangis frustasinya dilihat lelaki itu, pun bercampur dengan derai air hujan menggila.

"Seharusnya lo nggak langsung nyetujuin saran Icham. Seharusnya lo berpikir cara lain selain itu. Semua ini gara-gara lo, Tan, gara-gara lo. Dan sekarang lo mau kabur gitu aja, ha? Lo pengecut, Tan, pengecut!" teriak Mikel lagi penuh amarah meluap-luap. Jiwanya sudah bukan seperti dirinya yang sebenarnya.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now