Bab 17 Malam Pertama

391 39 13
                                    

Azkal selesai bersih-bersih kegiatan wajibnya sebelum tidur. Jarum jam di arloji lengannya sudah bertengger di angka sepuluh lewat tiga puluh menit. Namun suasana di beberapa titik pondok masih tampak ramai. Meski kamar-kamar sudah mengganti dengan lampu berwarna kuning, bahkan lampu di teras-teras komplek sudah mulai padam.

Kali ini setelan yang Azkal pakai tetap sama; sebuah sarung, t-shirt polos warna merah marun dan peci. Tidak seperti dirumah yang hanya akan mengenakan piyama atau celana kolor saja.

Azkal menenteng sebuah bantal dan selimut di kedua tangannya. Lalu mendesah berat saat menatap suasana sumpek kamarnya.

"Aisshh ... Jjinjja. Gimana gue tidurnya kalau gini? Udah mah panas, sumpek, bau. Ih!"

Azkal bergidik ngeri sekaligus jijik melihat santri-santri kamarnya teridur pulas sekali bak jejeran ikan pindang di pasar ikan. Saling berdempet, bertubrukan, perang ngorok, sampai-sampai ada yang memasang mulut terbuka lebar seperti ikan koki, menghadap ke atas, juga ada yang membuat pulau sembarangan.

Azkal garuk-garuk rambut kepalanya frustasi.

"Argghhh ... Menyebalkan! Menyebalkaaaaan!" teriak Azkal tertahan sambil berjalan mencak-mencak tak jelas, keluar dari kamar 23 Makkah itu.

Di depan kamar lelaki bermata hazel itu bingung hendak kemana. Ia belum punya teman dekat untuk diajak kemana-mana. Ada sih Adieb, tapi ia agak sungkan akibat pertanyaan terakhirnya itu, yang mampu mengusik kembali kekesalan terpendamnya.

Lagi, Azkal mendesah berat. Apa boleh buat. Akhirnya ia memutuskan tidur di pojok lorong komplek sebelah selatan. Untungnya masih ada sedikit lahan buat meregangkan seluruh otot-otot tubuhnya.

Tapi rupanya pertahanan Azkal tak mampu bertahan lama. Ia terganggu dengan suara ngorok santri entah siapa yang ada di belakangnya. Juga berbagai jenis nyamuk menggodanya, mencium dan menyedot paksa darahnya.

Azkal bangkit lagi. Duduk menyender pada dinding.

"Arggghh ... Ya, Allah. Gimana ini? huhu ...," rengek Azkal menahan tangis. Sungguh ia tak kuat dengan semua keadaan lingkungan barunya ini.

Pandangan Azkal kosong diantara kegelapan lorong komplek. Lamat-lamat kelopak mata Azkal terbayang wajah Bunda, Abah, Niswah, Alif dan beberapa orang terdekat lainnya, di rumah, dikeluarganya. Ah, Azkal jadi rindu mereka. Apakah mereka baik-baik saja sekarang? Bagaimana keadaan rumah malam ini? Seribut apakah suasana rumah tanpa dirinya? Sungguh, ia jadi rindu suara-suara mereka, omelan Bunda dan Abah, rengekan Alif serta mulut cabenya Niswah.

Azkal terinsak lirih. Masih berusaha menyembunyikan tangis tertahannya.

"Bunda ... Abah ... huhu."

Azkal menarik kedua lututnya. Memeluk dan menelungkupkan kepalanya dalam-dalam.

"Bunda, Azkal nggak kuat."

Ah, iya, Azkal juga rindu akan kebiasaan nongkrong sebelum tidur di balkon kamarnya. Sambil senderan di shofa panjang, menatap hamparan permadani hitam di langit, sepoi-sepoi angin malam membelai tubuhnya, juga ditemani hentakan musik syahdu; soundtrack drama-drama Korea atau lagu-lagu boyband dan girlband dari negeri ginseng itu. Terus juga ia rindu kasur empuknya, bantal, serta selimut nyamannya, wangi kamarnya, suasana syahdu setiap waktu di rumahnya. Ah .... Pokoknya segalanya. Ia merinduinya. Ia tak kuat, benar-benar jauh sekali perbandingan dengan keadannya sekarang, di sini.

Azkal berpikir. Ia merasa hidupnya tak jauh berbeda dengan orang-orang jalanan, serba kekurangan di belahan bumi sana. Akankah mereka juga merasakan seperti keadaannya kini? Ataukah justru lebih buruk? Kepala Azkal mendongak sedikit. Seperti ada yang menyentil di ujung hatinya.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now