Bab 22 Jejak Malam

274 43 12
                                    

Malam itu sekitar pukul sebelas malam, para santri baru berkumpul di lapangan luar pondok. Mereka saling membentuk lingkaran, duduk di atas rumput bersama kelompok yang sudah dibagi secara acak.

Suasana terasa horor, sebab sebagian besar lampu-lampu di sepanjang pinggir bangunan luas itu semua dimatikan. Sehingga tampak seperti rumah hantu, gelap gulita. Juga penerangan di lapangan itu, tak ada. Hanya menyisakan satsu lilin di atas panggung kecil sebelah selatan, yang menghadap ke sebelah utara, ke arah para santri. Aura yang ditunjukkan setiap pengurus tak kalah dinginnya dengan udara malam yang menggigit kulit.

Azkal kedapatan kelompok 20 bersama Adieb dan tiga teman lainnya yang belum dikenal.

Seorang pengurus berteriak melalui toa yang di pegangnya, "Sudah selesai berkumpul dengan kelompok masing-masing?" tanyanya sedikit beteriak.

Seluruh santri menjawab kompak, "Sudah."

"Baiklah! Sekarang ialah waktunya perkenalan. Setiap anggota dikelompok masing-masing saling berkenalan; nama, tanggal lahir, alamat, sekolah, hobby dan alasan kenapa mondok di Pondok Kebon Bambu. Setiap anggota kelompok harus hafal identitas setiap temannya. Terlebih ketua kelompok itu sendiri," perintahnya lagi.

Untuk dua detik para santri terdengar mengeluh, berbisik dan menggrutu. Mungkin merasa berat akan perintah tersebut. Namun tak lebih dari lima detik mereka kembali diam.

"Saya beri waktu sepuluh menit. Mulai dari, sekarang!"

Para santri yang awalnya diam. Mendadak kisruh. Satu persatu dari pengurus mendekati tiap kelompok sambil membawa lilin serta menaruhnya di tengah-tengah mereka.

"Mulai dari siapa nih?" tanya seorang santri berhidung mancung.

"Gue aja ya. Terus muter ke samping kanan," jawab santri yang duduk di dekat sebuah pohon besar. Lalu melanjutkan, "nama gue, Tanaya Afrizal Bakrie. Panggil aja Tanaya, nggak boleh Tana or Naya, karena itu kedua panggilan itu punya nyokap-bokap gue.. Umur gue 15 tahun. Sekolah gue inside, kelas 10 IPA 1. Actually, gue berasal dari Tangerang, but nyokap bokap gue migrasi ke Jaksel. So, gue jadi anak Jaksel. My Hobby is ML. Oh ya, alasan gue mondok itu karena satu hal. Cause gue penget tobat, Guys. Bosen gue gabung sama anak-anak gombereng kek mereka, euh, neraka terus bawaannya. Hiiiii ..." Tanaya bergidik, merinding.

Azkal, Adieb dan lainnya mengangguk, paham. Terkecuali dengan santri berhidung mancung itu. Ia tiba-tiba menyahut, "Eh, bentar, Tan. Jaksel itu daerah mana ya?" tanyanya bingung.

Adieb cepat menjawab, "Jaksel itu, Jakarta Selatan."

"Yeah, of course, bestfriendnya Jakut. Sodaranya Jaktim. Pacarnya Jakbar and selingkuhannya Jakput. Ih, lo kemana aja, bro. Masa nggak tahu Jaksel," sungut Tanaya bernada kesal. Ia aneh sama anak itu, masa Jaksel aja tidak tahu. Mungkin dia imigran kali, dari Papua Nugini.

Si santri yang bertanya melongo, tambah bingung, "Ha?"

Tapi kembali menyahut sambil mengacungkan tangannya. "Eh, bentar lagi, bentar. E, gue nanya lagi dong. Tan, itu tadi lo bilang. Hobby lo ML kan. Seriusan? Lo suka ML-an?" tanyanya menampakkan wajah syok berat. Ia melanjutkan, "wah, ABG jaman sekarang, ya, bener-bener kelewatan,ya, ngalahin orang dewasa," keluhnya. Dan lagi ia masih nyerocos. Santri pemilik hidung mancung itu malah bertanya dengan nada penasaran sekali, namun terdengar agak lirih, seperti bisik-bisik gitu, "terus, e, biasanya sama siapa lo ML-an, e, cewek lo atau hmm ... cewek di pinggir jalan remang-remang gitu? Hehe ...."

Pletak ...

Satu sentilan jari menjitak kening santri itu.

"Hus! Yang bener aja lo tanya. So, what? You're so crazy man. Lo mikirnya ML itu apaan sih?" tanya Tanaya kesal, tak percaya dengan jalan pemikiran anak yang satu ini.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang