Bab 53 Rencana Gila

167 18 2
                                    

Jika ada orang bertanya soal hubungan Azkal dengan santriwati bernama Aina itu, Azkal tegaskan tidak lebih dari sekadar teman. Mereka tidak pacaran. Sungguh.

Bagaimana dengan istilah friendzone?

Baiklah. Azkal akui, ia suka pada Aina. Bukan hanya suka biasa, melainkan lebih dari itu. Suka bertunas cinta mungkin lebih tepatnya.

Dan Aina sendiri, tidak ada yang mengetahui isi hatinya kecuali dia dan Allah yang berkuasa penuh. Pun perasaannya kepada Azkal. Entahlah, tapi jika diperhatikan baik-baik, dari gelagat gadis itu orang-orang akan menyangka bahwa ia pun suka. Ya, tiap kali berkesempatan berbincang-bincang, walau sebentar. Yang pasti Aina nyaman. Kang Azkal sudah bukan lagi sosok lelaki menyebalkan. Ya, Aina memaklumi segala tindak-tanduk kerecehan sampai kepedean melangit lelaki itu.

Sampai waktu terus berlanjut, hingga rupanya semesta turut campur menyetujui kedekatan mereka. Sebab selalu saja terselip kesempatan untuk bercakap-cakap ringan. Terlebih keduanya memiliki hobi yang sama, yakni suka membaca novel-novel ber-genre islami.

"Kang Azkal punya novel karya Khilma Anis yang berjudul Hati Suhita?" tanya Aina antusias.

Saat itu keduanya berpapasan di dekat poskestren (pos kesehatan pesantren). Aina sendiri sedang mengantar teman sekamarnya, untuk berobat. Dan Azkal menunjukkan koleksi novel-novel terbarunya.

"Punya dong. Itu novel islami paling baper, Mbak. Aku sampai habis sekotak tisu loh," jawab Azkal melebih-lebihkan.

Aina tertawa kecil. Oh, ya, perlu digarisbawahi, bahwa ketika Aina dan Azkal bercakap-cakap jarak mereka agak berjauhan. Tatapan mereka pun tidak selalu menatap intens satu sama lain. Masih ada batasan yang mereka pahami serta turuti.

"Ah, Kang Azkal ini berlebihan,."

"Eh, beneran loh. Hehe ... Hmm ... Mbak Aina sudah baca?" tanya Azkal kemudian.

"Belum sampai selesai, Kang. Novelnya keburu hilang dighosab entah kemana."

"Dicuri kali itu mah namanya."

"Ya, pokoknya begitu, Kang. Padahal lagi seru-serunya." Aina mendesah pasrah. "Terus endingnya bagaimana Kang? Apakah hubungan Gus Biru dengan Ning Alina Suhita membaik? Bagaimana pula dengan Mbak Ranta Rengganis? Yah, pasti dia yang paling sakit hati, ya, Kang?" cerocos Aina seperti biasa ketika dirinya dalam mode kritis.

"Mbak Aina mau baca?" tawar Azkal tersenyum. Lalu Ia menoleh sekilas ke belakang, saat ia mendengar namanya dipanggil-panggil seseorang.

Aina mengangguk-angguk. "Boleh. Kalau diperbolehkan, Kang."

"Ok. Apa sih nggak boleh buat Mbak Aina," goda Azkal.

Aina mendecak, "Mulai deh, mulai."

"Hmm ...Mau diskusi juga soal novel tersebut?"

Tawaran selanjutnya membuat Aina berpikir sejenak. "Hmm ... Mungkin kalau ada kesempatan."

Lagi, Azkal dipanggil seseorang di dekat pintu gerbang pondok. Azkal balas berteriak, "Iya, sebentar, Kang."

"Ok. Kalau begitu malam Sabtu besok sekitar pukul setengah dua belas malam. Ditunggu. Nanti ada santriwati yang akan mengantarkan novel itu ke kamar Mbak Aina," ujar Azkal memberi tahu. Ia buru-buru. Kedua kakinya sudah ancang-ancang hendak berlari ke sumber suara.

Aina mengangguk-angguk, paham. Walau sejatinya ia tak yakin betul atas ucapan Kang Azkal barusan. Sebab besar peluang terwujudnya rencana tersebut mungkin dapat Aina taksir 0,001 persen.

Sebelum Azkal berlari meninggalkan Aina. Ia masih sempat-sempatnya berbisik menggoda, "Soal diskusinya sih, nanti, Mbak. Pas kita sudah halal."

Aina cuma tertawa kecil seraya menutup mulutnya lewat punggung tangan. Kalau diperhatikan lelat-lekat, di kedua pipi gadis itu tercetak samar sebentuk rona merah. Perlahan tapi pasti Aina serasa merasakan denyar-denyar aneh yang merasuki inci tubuhnya, hingga sampai ke lorong-lorong hatinya.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang