Bab 34 Santet

215 26 2
                                    

"Di mana para pengurus?" tanya Ang Anwar merajut cemas di wajah. Suara-suara orang kerasukan masih terdengar jelas menyeruak ke setiap sudut pondok.

"Sudah berpencar, Ang. Menangani santri-santri yang kerasukan," jawab seorang pengurus pusat berperawakan agak kecil, namun wajahnya terlihat lebih dewasa. Sikap hormat seorang santri kepada gurunya tampak ia tunjukkan begitu sopan.

Ang Anwar mengangguk, "Kang Faqih di mana?"

"Ada di komplek Arofah, Ang."

"Ya sudah, Imron, sekarang kumpulkan para pengurus yang biasa ikut mujahadah malam di lantai dua. Langsung mujahadah saja, hidzib nasor juga. Dan saya sudah menghubungi Ustad Farhan, insyaallah sebentar lagi rombongan akan tiba, ikut menangani," jelas lelaki berjanggut tipis itu memerintah.

Sebelum beranjak pergi Ang Anwar menepuk pundak pengurus itu, seperti hendak memberikan angin kesegaran. Sebab ia menangkap ada raut cemas dan takut menggelayut wajah lelaki di depannya itu. Ya, pengurus itu seakan tahu kenapa kerasukan masal ini terjadi, juga amukan mereka yang benar-benar membuat bulu kuduk merinding.

"Ang ...," lirihnya seraya mencium tangan Kyai muda itu, agak lama. Lalu pecah sudah air matanya, terinsak-insak tertahan.

"Tak usah cemas ataupun takut. Hadapi dengan tenang. Yakinlah, masih ada Allah yang akan selalu melindungi hamba-hamba-Nya. Dia yang merajai segalaNya, Imron," ucap beliau penuh kelembutan ditiap kata yang keluar. Ang Anwar sempat tersenyum tegar sesaat setelah itu ia bergegas pergi meninggalkan halaman kantor pusat.

Tempat yang pertama Ang Anwar singgahi adalah komplek Arofah Al-musyarofah. Di sana ada tiga santri yang kerasukan. Mereka di bawa ke kantor komplek, dan yang pasti kini para pengurus komplek serta kepala kamar berusaha keras memegangi tubuh santri-santri itu. Salah satunya Kang Faqih, ya, ia mencoba mengeluarkan jin yang merasuki seorang santri. Satu santri sudah ditangani, ia tak sadarkan diri di pojok ruangan. Satu santri lainnya masih mengamuk, meraung-raung dan menyeracau tak jelas.

Tatkala Ang Anwar berjalan cepat ke lantai dua, santri-santri yang semula berkumpul, ribut di depan kantor komplek seketika itu juga diam dan bergerak minggir dengan kepala menunduk dalam.

Baru saja Kyai muda itu masuk ke dalam kantor komplek, serta merta seorang santri yang kerasukan itu menunjuk-nunjuknya.

"Kamu ... Anwar. Dasar Kyai bedebah! Munafik!" teriaknya garang dengan bola mata melotot tajam, gigi-gigi gemeretak serta raut wajah merah penuh amarah.

Saking kuatnya energi negatif di tubuh santri itu, para pengurus yang memegangi tubuh si santri terpental keras. Lantas si santri langsung menyerang Ang Anwar, menarik kerah baju koko putih itu. Sampai beliau tersudut ke pojok ruangan dekat pintu.

Ang Anwar terkesiap. Ia meneguk saliva dalam-dalam. Dalam keterkejutannya, tak lupa senandung dzikir mengalun keras di hati dan bibirnya.

Si santri berteriak mengancam, tepat di depan wajah Ang Anwar. Hingga lelaki itu dapat merasakan hembusan napas jahat jin yang dirasuki. Mungkin jika mampu menggambarkan dalam sebuah adegan di film horor, wajah santri itu sudah berubah seram laksana perwujudan iblis terlaknat.

"Kyai munafik! Tak tahu diri! Kali ini kamu tidak akan lolos. Kamu pikir perbuatanmu itu begitu agung dan mulia hah? Tidak, Anwar. Tidak sama sekali. Kamu tak ubahnya Kyai bertopeng tebal, tak tahu diri, tak punya hati ...."

Cepat-cepat para pengurus meraih tubuh si santri, menjauhkannya dari tubuh Ang Anwar. Meski berkali-kali si santri memberontak. Dan seorang pengurus langsung mengamankan Kyai Anwar.

Suasana semakin mencekam.

Santri itu masih berteriak garang, "Dasar Kyai munafik! Hancur hidupmu, Anwar. Hancur! Santri-santrimu hancur! Pondokmu hancur!"

Malaikat Bermata Hazel (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang