Bab 56 Renggang

130 15 2
                                    

Kondisi Mikel kian memburuk. Tubuhnya demam dan menggigil. Di beberapa bagian tubuhnya ada memar serta bintik merah tercetak samar. Dan Mikel masih tak sadarkan diri dengan seluruh tubuh lemas tak berdaya. Benar-benar menyedihkan ketika mata memandang.

Tanaya paham gejala-gejala yang kini Mikel alami. Maka cepat-cepat ia meminta pengurus dibidang kesehatan pesantren membawa Mikel ke rumah sakit terdekat, bersama Icham dan Ilham.

Pada waktu itu pula, usai Tanaya melampiaskan kekesalannya, Azkal sama sekali tak peduli. Ia pikir untuk saat ini ada yang lebih penting dari itu semua, ialah keadaan Mikel.

Tatkala sebuah mobil siaga milik pesantren meluncur ke jalanan besar, menuju Rumah Sakit Mitra. Azkal buru-buru mengikutinya dengan menaiki mobil angkutan umum efl. Tak perlu ditanya gimana ketar-ketirnya hati lelaki itu selama perjalanan, seiring pemandangan menyedihkan timbul tenggelam di balik kelopak matanya saat tatapannya pertama kali menubruk ke sosok ringkih dengan lubang hidung mengeluarkan darah merembes.

Cukup menghabiskan waktu sekitar lima belas menit, mobil siaga itu sampai di rumah sakit yang dituju. Mikel langsung dibawa menuju UGD. Roda-roda ranjang yang didorong, dibantu beberapa suster berderit. Disela-sela itu pula rongrongan bernada menguatkan keluar dari mulut ketiga temannya.

"Mike, lo harus kuat, Mike," seru Tanaya.

Icham yang baru tahu kondisi semenyedihkan pada temannya itu, ikut-ikutan cemas. "Kang Mikel, kamu kenapa, Kang? Kang, ingat Allah, Kang. Sebut nama Allah."

Dan Ilham sendiri hanya diam, namun ekspresi wajahnya sudah bisa menggambarkan sekhawatir apa dirinya.

Di waktu yang bersamaan Azkal tiba satu menit lebih lama dari mobil siaga itu. Sejauh mata memandang ia masih sempat melihat beberapa temannya mendorong sebuah ranjang, memasuki rumah sakit.

Otak Azkal langsung berproses. Pasti Mikel hendak di bawa ke UGD. Ya, ia harus sampai lebih dulu, kalau tidak mau ketinggalan barang satu-dua detik pun melihat wajah Mikel.

Persetan dengan Tanaya yang akan memaki-makinya lagi.

Azkal berlari-larian, memasuki pintu lain dari bangunan rumah sakit itu, menyerobot orang-orang yang menghalanginya, menoleh kesana-kemari mengikuti instingnya mengambil lorong mana supaya bisa sampai lebih cepat di depan ruang UGD.

Azkal mendecak kesal ketika pintu lift tak kunjung terbuka. "Sial!" umpatnya melirik sekilas ke petunjuk keberadaan lift.

Mau tak mau lelaki bermata hazel itu mengambil langkah mantap, berlari menaiki satu demi satu tangga dengan peluh menetes. Hingga di ujung lorong langkahnya terhenti, bersama degup jantung kian berdetak lebih cepat dan tenggorokannya serasa tercekat. Ya, saat ia melihat pemandangan tepat di depannya. Ialah sosok ringkih tak berdaya itu, Mikel, di atas ranjang, didorong beramai-ramai.

Sekilas Azkal melihat wajah pucat Mikel. Mendengar seruan bernada pilu dari ketiga temannya, pun deritan roda-roda ranjang yang serasa memekakkan telinganya. Waktu pun seakan berjalan lebih lambat, seperti menginginkan Azkal untuk melihat lebih lama wajah Mikel dan merasakan denyar-denyar kepiluan.

Tubuh ringkih Mikel dibawa masuk ke ruangan UGD. Pintu ditutup. Menyisakan orang-orang yang mengantarnya itu, berdiri lemas di sana. Kang Syahrudin selaku ketua bagian kesehatan pesantren bergegas balik badan, hendak mengurusi admistrasi. Dua orang pengurus lainnya –Kang Badru dan Kang Nizar, menepi duduk di bangku yang tersedia, menelepon seseorang, mungkin keluarga dan pengurus lainnya di pondok.

"Sudah, Tan, sudah jangan menangis. Mikel pasti baik-baik saja," ucap Icham menenangkan seraya menepuk-nepuk pundak Tanaya.

Tanaya mengangguk, menyeka air matanya yang masih menetes membasahi wajah. Ialah di sini yang paling merasa tertekan, sebab kini ia merasakannya lagi tiap momen menyedihkan yang dialami Mikel, yang sebelumnya pernah ia rasakan tatkala menghadapi perjuangan Ibunya untuk bertahan hidup.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now