Bab 29 Jumatan

242 33 1
                                    

Sekitar pukul sebelas siang, para santri putra Kebon Bambu itu, mulai berbondong-bondong keluar pondok. Memakai setelah rapih khas seorang santri pada umumnya. Ditambah lagi aroma wewangian dan sorban yang di taruh di atas pundak, menambah kesan agamis di antara wajah-wajah cerah bekas simbahan air wudhu itu.
Ya, mereka hendak melaksanakan salat Jumat di masjid utama, di Pondok Pesantren Rodhotut Tholibin, sebuah pondokan tertua di daerah Babakan. Seluruh santri di daerah sana memang selalu melaksanakan jumatan di pondok itu, seperti sebuah kewajiban, di samping para kyai mereka juga akan ikut andil meramaikan masjid hingga penuh sesak ke segala penjuru, pelataran masjid.

Azkal, Adieb, Mikel, Ilham dan Tanaya, sudah rapih. Mereka berjalan beriringan, sambil sesekali bercakap. Begitupun santri-santri yang lain. Panasnya sengatan matahari nyaris membakar ubun-ubun tak menyurutkan kaki mereka untuk melangkah sejauh 500 meter lebih. Maka tak ayal, di antara mereka kadang ada yang naik sepeda atau bergerombol berjalan dengan sorban menutupi seluruh kepala.

Kali ini Azkal lebih banyak diam. Kecamuk pikirannya masih tertuju pada adegan pagi tadi. Ekor matanya awas mencari sosok Kang Amjad, sebab ia berencana hendak bertanya selagi ada kesempatan.

Tanaya, Mikel dan Adieb tertawa-tawa, entah mereka tengah membicarakan apa. Kalau Ilham, ya, jangan ditanya, ia akan cukup tersenyum lebar tanpa suara.

“Kal, lo diem aja sih, kenapa? Tumben banget,” ujar Mikel seraya menepuk pundak temannya itu.

Tanaya malah yang jawab. Ia merapikan sorbannya di atas kepala.
“Dia pundung kali, Mike. Pagi tadi nggak kesampaian kenalan sama santri putri, itu loh yang pertemuan pertamanya di pinggir TPS. Haha ...,” kata Tanaya menyinggung lagi soal tadi pagi. Ia tertawa lepas, padahal tak ada yang lucu.

Azkal ikut merapikan sorbannya yang juga ia taruh di atas kepala yang tertutup peci hitam.
“Nggak, bukan itu,” jawab Azkal pendek tanpa ekspresi.

“Masa sih? Terus?”

Azkal tak menggubris pertanyaan kepo teman-temannya. Kini, tatapannya fokus pada lelaki bersarung hitam dan berbaju Koko putih, di punggung jalan sebelah kanan. Lelaki itu tampak berjalan sendiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku baju koko, serta tatapannya agak ke menunduk bawah.

“A ... Aku duluan,” pamit Azkal begitu saja dan langsung melengos pergi meninggalkan keempat temannya dengan segenap tanda tanya.

“Kang ... Kang Amjad. Tunggu ...,” panggil Azkal cukup keras.

Amjad tak peduli, ia terus berjalan santai. Hal ini membuat kekesalan yang dulu pernah terukir di benak Azkal kembali mencuat.

“Kang, Amjad, sebentar dong. Pelan dikit apa jalannya!” seru Azkal bernada mulai tak enak. Ia berjalan tergesa di belakang Amjad.

Amjad bersuara tanpa menoleh sedikitpun, “Sepenting apa?”

“Urgent banget, please!”
Azkal mulai mensejajari langkahnya, di samping kiri Amjad.

“Ada apa, sih? Tumben. Jangan bilang mau balas perang lagi,” sergah Amjad cepat. Ia sedikit mendelik pada Azkal.

“Nggak lah, siapa lagi yang ngajak mau perang. Lagipula, siapa yang duluan buat gencatan senjata lagi,” balas Azkal tak mau kalah. Meski masih ada sisa-sisa kekesalan akibat waktu itu, tapi sebisa mungkin lelaki bermata hazel itu kubur dalam-dalam terlebih dahulu. Sebab, ada hal lain yang lebih penting daripada itu.

“Ingat! Kalo di sekolah kita sepantaran. Tapi kalau udah di pondok, saya senior kamu,” kata Amjad memperingati, kali ini ia berani menatap iris mata hazel milik Azkal.

“Iya, deuh, iya, percaya. Bawel amat,” komentar Azkal. Wajahnya cemberut dua kali lipat.

Lalu hening, Amjad tak menanggapi lagi ocehan santri barunya itu. Azkal sendiri bingung, hendak bertanya mulai dari mana.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now